-->

Kamis, 10 Juni 2021

Air Mata Leti



Setiap hari kerja aku selalu mamandangnya. Sosok bernama Letitia memang mudah menjadi perhatian. Tubuhnya kurus, badannya putih dengan mata yang sedikit sipit. Rambutnya diwarnai golden blonde yang sudah luntur dan mulai bercampur dengan warna rambut asli. Meski memakai masker, Letitia masih dapat dilihat pesonanya. Mulai dari pintu lift terbuka samapai dia duduk di tempatnya, mataku tak lepas memandangnya.


Jika kamu tanya mengapa ini bisa terjadi, tentu aku punya jawabannnya. Otak manusia dirancang untuk menerima sensor dari panca indera yang dimiliki. Secara visual. Leti sangat memenuhi syarat untuk mencuri perhatian sehingga mata lelaki tergoda menatapnya karena rangsangan visual yang diperoleh. Menurutku ini sesuatu yang normal. 


Hari ini Leti datang tepat waktu. Sebuah kebiasan yang langka karena Leti terkenal suka telat teramat parah. Bisa lebih dari 60 menit. Satu pertanyaan tersisa untukku. Ada apa? Aku baru menemukan jawabannya 1 jam kemudian. Seorang office boy bernama Dion yang memberitahuku. Kedekatanku dengan Dion memang lumayan. Aku selalu berpikir bahwa office boy dan security seringkali menyimpan rahasia yang tidak diketahui karyawan lain. Sumber informasi ring pertama.


Ternyata Leti hendak menemui bos besar dan waktu yang tersedia hanyalah pagi itu. Hanya saja Dion tidak memberitahukan apa penyebabnya. Empat jam waktu yang berlalu kugunakan untuk bertanya. Aku khawatir. Sekaligus penasaran. Bukan hanya karena kedatangannya yang tepat waktu tapi kepergian Leti sepulang keluar dari ruangan bos. Leti menangis. Tidak terisak, namun terlihat dan terdengar dari meja kerjaku.


**

Leti pulang dan tidak kembali lagi,. Aku tambah penasaran. Kekosongan di ujung sana tempat biasa aku bisa memandang Leti kini telah hampa. Menyisakan angin dan terpaan cahaya matahari yang kini semakin terang karena tak terhalang sosok Leti.


Kring.... Teleponku berbunyi. Kulihat nama yang terpampang, tidak kukenal. 

Semenit kemudian ada chat masuk. Kurir expedisi menyampaikan bahwa paket yang kupesan sudah sampai. Aku paham dan segera turun dari lantai 7 tempatku berada dengan perasaan riang menyambut paket ada di tangan. 


Pintu lift terbuka, aku melangkah keluar menghampiri kurir. Sekelebat aku melihat sosok perempuan di salah satu kursi. Leti. Sedang duduk menunggu entah apa. Aku bertekad menghampiri dan menyapanya setelah urusanku selesai dengan mas kurir. 


**


“Kak Leti.” Sapaku.

Kepadanya aku memang tidak memanggilnya Bu sebagai sebuah sapaan. 


'Eh, mas Aarav. “, Setengah kaget namun menggeser duduknya. Sebuah isyarat dirinya ingin ditemani.


“Lagi nunggu orang?”

“Iya. Nunggu Grab. Mau cabut dulu'”

“Business trip?”

“No. i'm quit. Today is my last day, mas.”

“Hah? Serius?” 

“Iya. Sorry ya mas kalau gue banyak salah.” 

“Tadi gue liat sih lo lama di tempat si bos. Dan....'


Kalimatku menggantung. Tak enak menyinggungnya. 

“....dan... Apa mas?”

“....aku liat kamu nangis”

“ooh... Ahaha” Leti malah tertawa. 


“Keliatan yah?” Katanya dengan senyum masih tersungging. Manis sekali.

“Jelas sih. Gue penasaran sih kenapa. But it's okay if you won't to share”

“I feel better for now. So I'll tell you. Lagian udah hari terakhir juga kan”


Leti menghirup nafas dalam-dalam sebelum mulai ceritanya.


“Gue emang nangis tapi bukan karena apa-apa. Gue kebawa suasana.”


“Lo pernah merasa kehilangan gak mas?”


“Kalau kehilangan orang, pernah. Sahabat gue.”


“Lo pasti tau kan gimana nyeseknya kehilangan apa yang lo sayang. Gue ngalaman itu mas. Lo boleh beranggapan apapun tentang gue atas perginya gue dari sini cuma karena masalah yang mungkin lo anggap sepele. Tapi ketika orang yang lo anggap hilang itu ternyata masih ada, apa lo gak merasa bahagia?”


Leti bertanya. Aku tahu dia tidak sepenuhnya bertanya karena kalimat berikutnya akan meluncur sama derasnya dengan hujan di bulan Juni. 


“Sebulan yang lalu, Bruno kabur dari rumah. Anjing jenis akita yang udah nemenin gue dari kecil. Gue gak tau kenapa dia kabur. Gue curiga dia dicuri karena CCTV di rumah gue nunjukin ke arah penculikan. Gue dan keluarga udah panik. Bruno udah kayak anggota keluarga sendiri. Tahun ini dia mau masuk usia 11 tahun. Kebayang kan lo gimana kehilangannya kami sekeluarga.”


Lagi, aku tidak menjawabnya.


“Gue udah berusaha nyari Bruno. Tanya orang-orang, bikin pengumuman di medsos dan di tempat keramaian. Gue juga sempet sewa semacam detektif gitu buat nyari si Bruno. Tapi semua nihil. Usaha terakhir yang dilakukan oleh gue sekeluarga adalah melepasnya. Kami udah relain si Bruno pergi.”


“Puji Tuhan akhirnya Bruno ditemuin. Ada orang yang ngehubungin gue dan ngasih tau kalau dia nemu anjing yang mirip sama ciri-ciri yang gue sebutin di pengumuman pencarian. Semuanya sama mas. Gue yakin itu Bruno. Hari ini dia mau bawa si Bruno ke rumah. Makanya gue langsung pengen balik.”


Jeda begitu lama. Aku berpikir kalau dia perlu sedikit respon. 


“I see. Gue paham kenapa lo bahagia banget yah bakal ketemu si Bruno,. Tapi gue masih gak habis pikir alasan pagi tadi lo nang...”


“Oia... yang itu malah lupa.”

Leti merasa diingatkan dan kembali bercerita.


“Pas di dalem kantor gue cerita apa yang gue alami ke bos, terus dia paham betul apa yang gue rasain. Dia juga miara anjing jenis siberian husky. Mati di usia 12 tahun pas si bos usia 14 tahun. Si bos ngerasa kehilangan banget pas anjingnya mati. Gue kesentuh sama cerita-ceritanya. Jadi... Berair deh matanya. Ha ha ha...”


Tawa Leti tidak bisa kupahami. Tapi aku paham perasaannya. 


“Eh tapi lo hebat mas bisa tau. Padahal gue udah sembunyiin banget pas keluar dari ruangan si bos. “


“Bu Leti...” 


Terdengar suara memanggil. Pak Yusuf, security lobby menghampiri kami. 


“Mohon maaf Bu Leti. Informasi, jemputannya sudah tiba.”


Leti bangkit berdiri dan membereskan tasnya sebelum melangkah ke luar. 


'Mas Aarav, maafin yah kalau banyak salah. Dan makasih udah mau dengerin. Gue jadi sedikit lega. Tau sendiri kan gue di sini nyaris susah bisa berteman dengan rekan kerja.”


Kuterima juluran tangannya.


“See you, mas.”


Aku tersenyum sambil melambai. 


“Hati-hati..” kataku


Leti pergi. Seorang gadis di ujung meja yang selalu kuperhatikan. Dengan penuh rasa rindu ia siap menyambut kedatangan sosok yang disayangnya. Sementara aku di sini masih memandangnya berjalan ke luar dengan sedikit perasaan yang menggantung. Ada yang lupa kutanyakan.


'Kak Leti..!” Kataku setengah teriak yang membuat Pak Yusuf ikut menengok ke arahku.


Delapan langkah kuambil untuk menghampirinya. 


“Sorry kak. Lo belum jawab tentang kenapa ini jadi hari terakhir lo.”


“Oh.. Kalau itu sih karena gue udah dapet kerja di tempat baru yang lebih baik dari sini. He he he. Udah ya kasian driver gue kelamaan nunggu.”


Sial. Kupikir kepergian dan air matanya karena ada kaitannya dengan pekerjaan. Ternyata tidak. Sekali lagi Leti berjalan keluar. Aku juga berjalan ke arah berseberangan, menuju lift menju ke lantai 7 sambil membawa paket yang baru datang berisi Pedigree untuk Gibson, anjing ras golden retrivier di rumahku. 


***

NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner