Kardus terakhir berwarna cokelat bekas tv merk Samsung itu
akhirnya masuk juga ke dalam kamar. Belum ada seminggu Nina menempati
apartemennya yang berlokasi di sekitaran Jakarta Barat. Hamka tidak mengetahui apa
saja barang yang ada di dalamnya. Dari bobotnya Hamka pikir ini adalah koleksi
sepatunya.
“Duh… Makasih banget yah Ka. Gue jadi ngerepotin lo.
Harusnya ade gue yang bantuin tapi dia malah ada acara dadakan sama ceweknya.
Ampun deh anak muda.”
“Selow aja sih. Kita juga udah lama gak ketemuan kan.
Terakhir tuh pas kita makan bareng di m Bloc itu kan. Hampir setahun yang lalu
lho itu.”
Hamka memilih duduk bersandar di beranda balkon yang menghadap
tepat ke arah perkotaan. Udara dari sini jauh lebih menenangkan dibanding di
dalam ruangan dengan AC. Dari tempat ini siapapun dapat melihat Jakarta yang
masih saja ramai meski jam sudah menunjukkan pukul 23.45. Lampu kota dan rumah
warga menjadi penghias malam pada langit yang juga sama cerahnya. Dalam
lamunannya Hamka mengingat kembali moment awal dengan Nina yang membawa waktu
menyentuh angka hampir tujuh tahun pertemanan. Selama itu pula keduanya sering
bertukar cerita. Sering jalan dan menikmati hari bersama. Dalam setiap cerita
yang dibagi keduanya selalu ada cerita tentang suka, maupun luka. Curhat
masalah percintaan dengan masing-masing pasangan. Makanya ketika Nina meminta
Hamka untuk membantunya Hamka tidak berpikir panjang untuk mengiyakan.
“Nih gue bawain teh.” Suara Nina dari belakang membuyarkan
lamunan Hamka.
“Cobain deh. Gue baru beli dari toko online gitu. Lucu
banget warnanya biru.”
“Lo beli karena warnanya atau emang karena tehnya?”
Hamka menggeser tempat duduknya agar Nina bisa ikut
bergabung.
“Keduanya. Gue lihat warnanya lucu dan kata penjualnya sih
ini bisa ngurangin capek. Lumayan kan tadi kita angkat berapa kardus.”
Srrrt… Seruput pertama.
“Ah…”
“Gimana?” Tak sabar Nina ingin mengetahui responnya.
“Lumayan yah. Rasanya juga enak.”
“Bakal lebih enak kalau tambahin madu. Sebentar gue ambilin
ya..”
“Gak usah. Gue lagi menghindari makan yang manis” Hamka
segera mencegahnya dengan cara menahan tangan Nina.
Cegahan dari Hamka membuat Nina kembali duduk.
Keduanya terdiam. Afeksi barusan menjadi pemicunya. Baik
Hamka maupun Nina sama-sama tidak melakukan apapun selain memandang ke depan.
Ke deretan lampu kota. Situasi itu bertahan sekitar 10 menit. Diam sambil
sesekali meminum teh yang disajikan.
“Lo jadi ambil S2?” Hamka memulai obrolan.
“Entah Ka. Bokap kemarin tokonya kena jarah sama pendemo.
Jadi gue pikir mending duitnya dipake dulu deh buat gedein warungnya. Kebetulan
rumah di sebelah warung bokap tuh dijual. Kan pas banget yah.”
“Ada yang ketangkep gak pendemonya?”
“Gak ada Ka. Ngapain juga dilaporin. Anggap aja lagi sial.
Gue masih bersyukur bokap gue gak kenapa-napa. Tau gak. Pas kejadian itu bokap
gue malah sibuk nyelamatin anak-anak si Manis. Si Manis baru ngelahirin lagi.”
“Si Manis bakal lo bawa ke sini?”
“Gak kayaknya. Sengaja biar gue ada alasan balik ke rumah
bokap. Maksudnya biar kangen. Kucing itu yah salah satu hewan yang dibikin jadi
hewan piaraan. Padahal dulunya tuh dia termasuk hewan liar. Itu terjadi
kira-kira…. “
Kalimat yang tergantung dari Nina membuat Hamka bicara dalam
dirinya sendiri :
“Seperti yang biasa kau lakukan
di tengah perbincangan kita.
Tiba-tiba kau
terdiam.
Sementara aku sibuk
menerka apa yang ada di pikiranmu…”
“Sembilan ribu tahun..!” Seru Nina.
“Pada waktu yang selama itu akhirnya kucing hutan secara
genetik berubah jadi hewan kota. Yang gue tau selain kucing tuh ada anjing yang
akhirnya dia menjadi hewan domestic. Makanya gak heran kan kalau anjing sama
kucing jadi hewan popular yang sering dipiara sama orang-orang.”
“Menarik juga.” Kata Hamka sembari menyeruput tehnya entah
untuk yang ke berapa kali.
“Sembilan ribu tahun yang lalu yah… Kalau begitu ini
fakta yang menarik karena ternyata padi juga baru ditemukan secara di kisaran
8500-13.500 tahun yang lalu. Berdasarkan bukti genetic mereka ditemuin di China
pada awalnya. Bahkan merupakan bagian dari
folklore Cina. Menurut kepercayaannya, seorang gadis harus menghabiskan seluruh
nasi di piringnya karena setiap butir nasi akan menggambarkan goresan, jerawat,
atau cacat pada wajah bakal suaminya nanti. Terlepas dari bener atau gaknya
kayaknya itu bagus juga yah supaya orang bisa lebih mneghargai makanan.”
Nina yang mengenal baik
Hamka dengan ucapannya itupun memainkan monolog di kepalanya..
Srrtt… seruput ke tiga belas dari cangkir yang
sama.
Baik Nina maupun Hamka tak banyak bicara. Sudah banyak
yang dilalui keduanya. Malam ini hanyalah pengulangan hari yang sama yang
dipenuhi cerita keduanya yang ajaibnya baik Nina maupun Hamka sama-sama tidak
merasa bosan. Keduanya berteman baik namun tidak sampai memiliki perasaan ingin
memiliki sebagai kekasih. Keduanya peduli. Keduanya sayang. Hamka menyebutnya
itu hubungan platonis setelah ia mengetahuinya dari artikel sebuah majalah di
Rumah Sakit saat menjenguk Nina yang dirawat dua tahun lalu. Nina merasa
bersyukur punya teman seperti Hamka.
Malam semakin larut. Masih di beranda balkon yang sama.
Langit yang sama dan cahaya lampu yang juga sama. Keduanya menenggak seruput
terakhir teh buatan Nina untuk beranjak dari balkon. Hamka bangkit dan menepuk
pundak Nina untuk mengajaknya masuk ke dalam ruang tamu. Taburan bintang
menjadi saksi kedekatan keduanya.
**
“Mau pulang?” Nina bertanya ragu.
“Emang masih ada yang perlu diangkut?” Hamka balik bertanya.
“Gak sih. Tapi udah tengah malam gini. Lo gak apa-apa
emangnya? Rumah lo kan jauh dari sini. Mana lo naik motor kan. Lo nginep dulu
aja di sini. Temenin gue.” Kata-kata dari Nina meluncur deras seperti air
terjun Niagara.
“Yaudah tapi gue gak bawa baju ganti.”
“Pake punya cowok gue aja. Kemarenan gue pinjem punya dia
terus belum gue balikin. Postur lo gak jauh beda kan sama dia. Bentar gue
ambilin.”
“Ada satu syarat.”
“Apaan?” Nina berbalik kaget.
“Seduh lagi tehnya.”
“Ahaha. Siap.”
Tulisan berikut merupakan reinterpretasi karya Payung Teduh berjudul Sebuah Lagu (2019) dan Mari Bercerita (2017).
Payung Teduh
Payung Teduh era Is