-->

Minggu, 08 November 2020

Mari Bercerita Sebuah Lagu



Kardus terakhir berwarna cokelat bekas tv merk Samsung itu akhirnya masuk juga ke dalam kamar. Belum ada seminggu Nina menempati apartemennya yang berlokasi di sekitaran Jakarta Barat. Hamka tidak mengetahui apa saja barang yang ada di dalamnya. Dari bobotnya Hamka pikir ini adalah koleksi sepatunya.


“Duh… Makasih banget yah Ka. Gue jadi ngerepotin lo. Harusnya ade gue yang bantuin tapi dia malah ada acara dadakan sama ceweknya. Ampun deh anak muda.”


“Selow aja sih. Kita juga udah lama gak ketemuan kan. Terakhir tuh pas kita makan bareng di m Bloc itu kan. Hampir setahun yang lalu lho itu.”


Hamka memilih duduk bersandar di beranda balkon yang menghadap tepat ke arah perkotaan. Udara dari sini jauh lebih menenangkan dibanding di dalam ruangan dengan AC. Dari tempat ini siapapun dapat melihat Jakarta yang masih saja ramai meski jam sudah menunjukkan pukul 23.45. Lampu kota dan rumah warga menjadi penghias malam pada langit yang juga sama cerahnya. Dalam lamunannya Hamka mengingat kembali moment awal dengan Nina yang membawa waktu menyentuh angka hampir tujuh tahun pertemanan. Selama itu pula keduanya sering bertukar cerita. Sering jalan dan menikmati hari bersama. Dalam setiap cerita yang dibagi keduanya selalu ada cerita tentang suka, maupun luka. Curhat masalah percintaan dengan masing-masing pasangan. Makanya ketika Nina meminta Hamka untuk membantunya Hamka tidak berpikir panjang untuk mengiyakan.



“Nih gue bawain teh.” Suara Nina dari belakang membuyarkan lamunan Hamka.


“Cobain deh. Gue baru beli dari toko online gitu. Lucu banget warnanya biru.”


“Lo beli karena warnanya atau emang karena tehnya?”


Hamka menggeser tempat duduknya agar Nina bisa ikut bergabung.


“Keduanya. Gue lihat warnanya lucu dan kata penjualnya sih ini bisa ngurangin capek. Lumayan kan tadi kita angkat berapa kardus.”


Srrrt… Seruput pertama.


“Ah…”


“Gimana?” Tak sabar Nina ingin mengetahui responnya.


“Lumayan yah. Rasanya juga enak.”


“Bakal lebih enak kalau tambahin madu. Sebentar gue ambilin ya..”


“Gak usah. Gue lagi menghindari makan yang manis” Hamka segera mencegahnya dengan cara menahan tangan Nina.


Cegahan dari Hamka membuat Nina kembali duduk.


Keduanya terdiam. Afeksi barusan menjadi pemicunya. Baik Hamka maupun Nina sama-sama tidak melakukan apapun selain memandang ke depan. Ke deretan lampu kota. Situasi itu bertahan sekitar 10 menit. Diam sambil sesekali meminum teh yang disajikan.


Duduk bersama tak melakukan apa pun
Keluh-kesah 'kan perjuangan dan masa sulit
Seduhan teh dan persahabatan melunturkan lelah
Jam dinding tak berjarum
Sudah larut, kaki enggan melangkah

 

“Lo jadi ambil S2?” Hamka memulai obrolan.


“Entah Ka. Bokap kemarin tokonya kena jarah sama pendemo. Jadi gue pikir mending duitnya dipake dulu deh buat gedein warungnya. Kebetulan rumah di sebelah warung bokap tuh dijual. Kan pas banget yah.”


“Ada yang ketangkep gak pendemonya?”


“Gak ada Ka. Ngapain juga dilaporin. Anggap aja lagi sial. Gue masih bersyukur bokap gue gak kenapa-napa. Tau gak. Pas kejadian itu bokap gue malah sibuk nyelamatin anak-anak si Manis. Si Manis baru ngelahirin lagi.”


“Si Manis bakal lo bawa ke sini?”


“Gak kayaknya. Sengaja biar gue ada alasan balik ke rumah bokap. Maksudnya biar kangen. Kucing itu yah salah satu hewan yang dibikin jadi hewan piaraan. Padahal dulunya tuh dia termasuk hewan liar. Itu terjadi kira-kira…. “


Kalimat yang tergantung dari Nina membuat Hamka bicara dalam dirinya sendiri :


“Seperti yang biasa kau lakukan

di tengah perbincangan kita.

Tiba-tiba kau terdiam.

Sementara aku sibuk menerka apa yang ada di pikiranmu…”

 

“Sembilan ribu tahun..!” Seru Nina.


“Pada waktu yang selama itu akhirnya kucing hutan secara genetik berubah jadi hewan kota. Yang gue tau selain kucing tuh ada anjing yang akhirnya dia menjadi hewan domestic. Makanya gak heran kan kalau anjing sama kucing jadi hewan popular yang sering dipiara sama orang-orang.”


“Menarik juga.” Kata Hamka sembari menyeruput tehnya entah untuk yang ke berapa kali.


“Sembilan ribu tahun yang lalu yah… Kalau begitu ini fakta yang menarik karena ternyata padi juga baru ditemukan secara di kisaran 8500-13.500 tahun yang lalu. Berdasarkan bukti genetic mereka ditemuin di China pada awalnya. Bahkan merupakan bagian dari folklore Cina. Menurut kepercayaannya, seorang gadis harus menghabiskan seluruh nasi di piringnya karena setiap butir nasi akan menggambarkan goresan, jerawat, atau cacat pada wajah bakal suaminya nanti. Terlepas dari bener atau gaknya kayaknya itu bagus juga yah supaya orang bisa lebih mneghargai makanan.”

 

Nina yang mengenal baik Hamka dengan ucapannya itupun memainkan monolog di kepalanya..

 

“Sesungguhnya berbicara denganmu
Tentang segala hal yang bukan tentang kita
Mungkin tentang ikan paus di laut
Atau mungkin tentang bunga padi di sawah
Sungguh bicara denganmu
Tentang segala hal yang bukan tentang kita
Selalu bisa membuat semua lebih bersahaja”

 

Srrtt… seruput ke tiga belas dari cangkir yang sama.

 

Baik Nina maupun Hamka tak banyak bicara. Sudah banyak yang dilalui keduanya. Malam ini hanyalah pengulangan hari yang sama yang dipenuhi cerita keduanya yang ajaibnya baik Nina maupun Hamka sama-sama tidak merasa bosan. Keduanya berteman baik namun tidak sampai memiliki perasaan ingin memiliki sebagai kekasih. Keduanya peduli. Keduanya sayang. Hamka menyebutnya itu hubungan platonis setelah ia mengetahuinya dari artikel sebuah majalah di Rumah Sakit saat menjenguk Nina yang dirawat dua tahun lalu. Nina merasa bersyukur punya teman seperti Hamka.

 

Duduk bersama tak melakukan apa pun
Menuang secangkir cerita tangis dan tawa
Tak berjanji tapi selalu ada dalam masa kelam
Terima kasih, teman
Untukmu kunyanyikan sebuah lagu

 

Malam semakin larut. Masih di beranda balkon yang sama. Langit yang sama dan cahaya lampu yang juga sama. Keduanya menenggak seruput terakhir teh buatan Nina untuk beranjak dari balkon. Hamka bangkit dan menepuk pundak Nina untuk mengajaknya masuk ke dalam ruang tamu. Taburan bintang menjadi saksi kedekatan keduanya.




Taburan bintang melukis semua
Kisahku yang kau tampung
Tepukan di pundak meredam asa yang
Yang hampir menghilang

 

**


“Mau pulang?” Nina bertanya ragu.


“Emang masih ada yang perlu diangkut?” Hamka balik bertanya.


“Gak sih. Tapi udah tengah malam gini. Lo gak apa-apa emangnya? Rumah lo kan jauh dari sini. Mana lo naik motor kan. Lo nginep dulu aja di sini. Temenin gue.” Kata-kata dari Nina meluncur deras seperti air terjun Niagara.


“Yaudah tapi gue gak bawa baju ganti.”


“Pake punya cowok gue aja. Kemarenan gue pinjem punya dia terus belum gue balikin. Postur lo gak jauh beda kan sama dia. Bentar gue ambilin.”


“Ada satu syarat.”


“Apaan?” Nina berbalik kaget.


“Seduh lagi tehnya.”


“Ahaha. Siap.”


Sebuah lagu tentang cinta tentang luka
Tentang hidup tentang segalanya
Sebuah lagu tentang jarak tentang rindu
Tentang harap tentang segalanya

Sebuah lagu tentang kita tentang waktu
Kebersamaan abadi



Seduhan teh berikutnya datang bukan hanya dengan cangkir namun juga dengan pot. Agar semua cerita bisa mengalir lebih banyak. Agar keluh kesah bisa tersampaikan. Yang membuat mereka merasa saling membutuhkan sebagai support system. Media curhat. Atau istilah lain yang mampu menggambarkan kedekatan mereka. Keduanya sadar bahwa sulit mencari teman yang cocok  apalagi di usia yang sudah matang. Kali ini Nina dan Hamka ingin melanjutkan ceritanya. Keduanya tak ingin malam segera berakhir dan pagi datang. Jangan dulu.

Malam jangan berlalu
(Jangan datang dulu terang)
Telah lama kutunggu
('Ku ingin berdua denganmu)
Biar pagi datang
Setelah aku memanggil
Terang
Aih! Pencuri kau, terang
Terang

 

Tulisan berikut merupakan reinterpretasi karya Payung Teduh berjudul Sebuah Lagu (2019) dan Mari Bercerita (2017).

Payung Teduh 


Payung Teduh era Is



NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner