Ayahnya sakit. Terbaring lemas pada sebuah dipan sebuah
rumah sakit negeri di kotanya. Satu-satunya orangtua yang tersisa yang mesti dia
jaga dan ia rawat. Dia tahu kalau dia belum siap untuk ditinggalkan. Mendamba
lelaki yang menjadi pendampingnya masih saja belum terwujud. Sedikit harus
bersabar. Dia juga tahu dan juga berharap kelak saat ada lelaki yang ia sayang
betul pergi melamarnya, dia ingin meminta restu dari ayahnya dan juga hadir
pada pesta sederhana pernikahannya. Dia tahu bahwa dengan begitu maka sang Ayah
telah menunaikan tugasnya. Tugasnya telah selesai. Dengan begitu baik sang Ayah
maupun sang putri sama-sama bisa merasa lega.
**
Seorang wanita dewasa, freelancer. Hidupnya terasa tidak
adil. Kata dia. Memiliki seorang adik dengan keterbelakangan mental bukanlah
awal yang baik untuk peran kakak sepertinya. Apalagi dengan kurang atau bahkan
nyaris tidak adanya dukungan satu sama lain. Beban si Kakak semakin berat
karena harus membiayai pengobatan si adik yang biayanya constant dan cukup
mahal. Impiannya mungkin saja pupus. Harapannya bisa saja pudar. Kendati suatu
saat nanti seorang pria mengajaknya berumahtangga, dia tidak yakin kalau
prangtuanya bisa merawat aatau peduli kepada adiknya yang bisa membuat sang
adik terlantar. Si kakak tidak mau hal itu terjadi. Sehingga dia lebih rela
untuk tetap merawat adiknya dengan penuh rasa sayang sambil mengutuk takdir
yang datang kepadanya.
**
Setahun berlalu sejak ia kehilangan cintanya. Kekasihnya
memilih untuk mengakhiri hubungan keduanya. Meski ia tahu waktu tak bisa
kembali tapi dalam hati kecilnya ia masih belum menerima dan ingin mencoba
memperbaikinya. Ia takut justru kehilangan yang sesungguhnya adalah ketika dia
kehilangan dirinya sendiri dalam tautan masa lalu. Membuatnya terpaku pada satu
waktu yang menghambatnya untuk melaju.
**
Oktober.
Semuanya.
Di manapun.
Sebulan penuh.
Ada yang takut kehilangan. Takut disia-siakan. Takut
mimpinya tidak tercapai. Ketakutan yang berdampak terhadap hidupnya.
Tapi manusia selalu menemukan caranya untuk bangkit. Meski
seringkali kebangkitan itu harus diawali oleh sebuah kehilangan yang amat sangat
ingin dihindarinya. Luka menjadikan mereka kuat. Meski perih memang. Mereka
bangkit perlahan atau bisa sangat cepat. Lambat laun satuan waktu menjadi
relativitas bagi mereka. Cepat untuknya belum tentu cepat untuk lainnya meski
jumlah yang dihabiskannya sama-sama satu juta jam.
Oktober…
Semoga engkau tidak kejam terhadap semuanya. Jangan ada
kehilangan dulu. Tidak sekarang. Tidak juga lusa. Kapan saja asal jangan
Oktober.