Udara di sekitarku menjadi lebih berat. Nafasku semakin
tercekat. Suara denting waktu memukulbalik semua kenangan ke suatu titik secara
telak. Merekonstruksi setiap peristiwa dalam ingatan. Aku tak bisa melawan.
Kubiarkan saja rasa ini berkelana pada sekelumit sejarah dari masa lalu saat
aku bersamanya. Ah.. Dia datang lagi. Pikirku. Semua usaha untuk menepisnya tak
kunjung menghasilkan sesuatu yang kontras.
Kumasuki lorong berliku yang begitu cepat dengan corak
berwarna perak dan gradasi warna-warni yang silih berganti. Membawaku mendarat
pada satu tempat sama yang pernah kukenal. Yang sengaja kupilih untuk
berlama-lama di sana bersama sosok yang kusayang, terbenam dalam satu rasa yang
sama. Tempat itu adalah sebuah ranjang di mana aku dan dirinya sama-sama
menatap ke sembarang dengan sesekali mata terpejam. Hanya obrolan kami yang
mengisi kekosongan. Beriringan dengan suara deru penyejuk ruangan dan knalpot
motor yang sangat sayup.
“Kenapa yah kok kita suka pakai standar orang buat
diaplikasiin ke hidup kita? Padahal kan kita punya jalan sendiri.”
“Mungkin karena kita terlalu banyak mengkonsumsi media. Apa
yang disuguhkan media terpartri pada manusia dan menyesuaikan semuanya
berdasarkan apa yang disuguhkan oleh media. “
“Bisa jadi. Termasuk media sosial sih. Mereka yang disebut
influencer juga punya pengaruh terhadap pola pikir atau prilaku masyarakat.
Atau minimal follower-nya deh.”
“Contohnya?”
“Yang paling gampang sih liat aja penggunaan kata ‘ashiap’
yang dipopulerkan si Atta geledek. Atau pernikahan artis mewah yang sampai
diliput media secara live. Terus terang aku takut kamupun akan terpengaruh buat
minta pernikahan mewah kayak yang ada di TV. Takut belum cukup untuk bisa
wujudinnya terus kamu pergi ke orang lain yang mampu mewujudkannya.”
“Ha ha ha. Aku gak minta hal kayak gitu. Dengan adanya kamu
yang seperti saat ini pun udah cukup bagiku. Aku lihat kamu berusaha keras
selalu membuatku bahagia dengan cara yang kamu bisa.”
Aku menoleh ke arahnya dan langsung kudapati wajahnya yang
juga sedang menatapku. Ah.. cahaya remang dari lampu tidur di dekatnya membuat
dirinya terasa lebih indah. Tanpa komando siapapun kami berdua merapat dan
kupeluk dirinya. Wangi parfum dan sampo yang kekenal tercium samar melalui
hidungku. Dengan kepalanya yang terbenam di dadaku aku bisa merasakan kombinasi
wangi yang begitu dekat. Kukecup keningnya. Lembut. Kuurai rambutnya. Sama
lembutnya.
“Terima kasih sudah mau bersamaku.
Aku akan terus berusaha untuk kebahagiaan kita. Semoga kamu masih bisa untuk
sedikit bersabar.”
“Ashiaaaap..”
“Tuh kan.”
Adegan yang kuhafal setelahnya
adalah kami bergumul dalam tempo yang variatif. Lidah saling bertaut dan
erangan silih berganti. Adegan demi adegan yang kuhafal betul dan sering ku reka
ulang saat sedang sadar menjelang tidur. Namun alih-alih aku menjalani adegan
yang kuhafal dan kunantikan itu, aku justru terhisap kembali ke dalam lorong
perak dengan gradasi warna-warni yang semakin cemerlang. Hisapannya cepat
dengan arah yang naik turun dan semakin menikung. Ingin teriakpun terasa sulit.
Dan sedikit takut kalau lidahku tergigit. Jangan ditanya bagaimana pusingnya
kondisiku dengan hantaman seperti itu. Yang aku harapkan adalah agar aku segera
terlempar kembali ke suatu tujuan. Entah itu ke ranjang kamar tidurku, atau ke ranjang
kamar hotel yang baru saja kulalui.
Kusadari detak jantungku bergerak
cepat atas sensasi yang baru kualami. Ruangan gelap yang kuhafal. Kamarku.
Untunglah. Suasana yang familiar membuat sessuatu menjadi lebih baik ketimbang
harus pergi ke suatu tempat asing yang tidak diketahui.
Bulir keringat masih tertanam di
dahiku. Rentetan peristiwa membawaku untuk mengingat momen yang kualami dan
adegan yang kulakukan sebelum ku tertidur. Masih kuingat ternyata aku baru saja
melakukan kegiatan memata-matai dirinya
melalui media sosial layaknya intelejen amatir level Ibu Rumah Tangga. Sesuatu
yang kusesali namun juga kumaklumi karena ketika ku tengok ke arah kanan tempat
jam dinding terpaku, jarum jam menunjukkan waktu jam tiga pagi.