-->

Minggu, 19 Juli 2020

Di Balik Kematian Seorang Tokoh Terkenal




Coba kita runut ke belakang. Di tahun 2020 sampai bulan Juli ini ada berapa orang terkenal yang meninggal dunia? Beberapa di antaranya ada Kobe Bryant, Ashraf Sinclair, Gleen Fredly, Erwin Prasetya,  Didi Kempot, Hana Kimura, Omas Wati. Kemarin (Sabtu 18 Juli 2020) aktor Jepang Haruma Miura juga meninggal dunia. Dan hari ini (Minggu, 19 Juli 2020) sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono ikut berpulang. Nama-nama yang saya sebut setidaknya membuat ramai di sosial media dan pemberitaan. Banyak diperbincangan. Ada yang meninggal karena sakit, kecelakaan, maupun bunuh diri. 

Ramainya pemberitaan media diimbangi juga dengan rasa simpati seseorang terhadap tokoh yang bersangkutan. Di banyak sosial media yang saya ikuti, banyak teman yang mengungkapkan rasa belasungkawanya. Tidak hanya di media sosial tapi ke ranah yang lebih pribadi seperti story pada aplikasi WhatsApp. Semuanya sama-sama merasa kehilangan. 

Barangkali ada yang kaget. Ada yang tidak percaya. Dan juga ada yang bersedih apalagi jika tokoh tersebut berperan dalam kehidupan orang lain. Misalnya teman saya yang mengaku menangis ketika tahu aktor Haruma Miura tewas. Katanya Haruma pernah menemani hidupnya dengan film-film yang pernah dilakoninya. 

Kadang dalam hati saya suka berpikir, “Oh, si A suka basket juga ya”, ketika melihat si A update status belasungkawa terhadap Kobe Bryant. Juga kaget melihat si Z mengucapkan belasungkawa pada postingan Twitter-nya ketika kematian bunuh diri pegulat wanita Jepang Hana Kimura. Saya pikir, “Emang si Z suka gulat Jepang juga ya?” Pertanyaan ini sebetulnya wajar menurut saya. Asalkan kita tidak melarang untuk orang lain ikut berbelasungkawa.

Barangkali di luaran sana ada yang merasa skeptis dan nyinyir kalau si A atau si Z yang berbelasungkawa itu hanya ikut-ikutan topik yang sedang hangat. Ikut-ikutan adalah hal yang wajar dan terjadi di seluruh dunia. Tetapi saya menilai bahwa ketika seseorang ikut belasungkawa terhadap siapapun, maka dia tidak perlu paham betul untuk ikut berbelangsungkawa. Misalnya pada kematian Hana Kimura, maka dia tidak perlu suka nonton gulat. Kita tidak tahu persis kenapa si Z ikut berbelasungkawa. Kan bisa saja terjadi karena adanya kesamaan gender, atau kesamaan bahwa dirinya pernah menjadi korban bullying. Atau bisa jadi si Z merasa iba karena kematiannya yang disebabkan oleh bunuh diri. Si Z dalam kasus ini punya motif yang membuat dirinya merasa perlu untuk mengucapkan belasungkawa terhadap Hana Kimura.



Kematian Haruma Miura juga sama. Saya yang sama sekali tidak tahu Haruma, merasa ikut bersedih sama halnya dengan banyak rekan saya. Padahal saya sendiri tidak mengenalnya karena minimnya pengetahuan saya terhadap aktor Jepang. Tetapi tetap saya merasa bersedih dan mencari tahu mengenai kenapa dia meninggal dan berita yang terkait. Hidup seseorang seringkali menjadi cerminan untuk kita agar bisa belajar. Pengetahuan eksternal berupa cerita oranglain dapat kita saring untuk menjadi buah pengetahuan dan wawasan untuk bekal kita. 



Hari inipun saat sastrawan Sapardi Djoko Damono meninggal dunia dan banyak tokoh serta media ikut bersedih atas kepulangannya. Terlepas dari motif dirinya ikut bersedih saya rasa tidak ada larangan yang mengatur mengenai kesedihan seseorang. Silakan saja asalkan masih dalam tahap yang normal, sopan, dan beretika. Ikut merasa bersedih dan berduka melalui media sosial, tak perlulah dinyinyiri. Justru bukankah itu bagus bahwa manusia masih memeiliki rasa empati dan simpati. 


**

Saya menuliskan bahwa berdukapun semestinya dilakukan dengan cara beretika dan masih dalam batas wajar. Kenapa saya tulis begitu karena ada momen yang saya ingat betul bahwa kematian seseorang seakan dirayakan oleh para mereka yang ikut bersedih. Contohnya kematian mantan Presiden Republik Indonesia Bapak BJ Habibie. Ataupun kematian pelawak Olga Syahputra.  Saat keduanya meninggal banyak yang ikut berduka dan ikut melayat ke makamnya. Namum pemberitaannya adalah adanya orang-orang yang justru terlihat ceria dan berfoto bersama nisan almarhum. Astaga. Kok bisa ya?




Kadangkala memang status sosial itu penting yah. Dan untuk itu orang berlomba mendapat pengakuan agar status sosialnya meningkat. Pengakuan itu bisa lewat harta, bisa lewat eksistensi. Namun eksistensi yang diraih dengan cara yang kurang baik tentu akan berdampak kurang baik juga kan. 

Point pada tulisan ini adalah bahwa kita tak perlu kaget ketika ada teman kita yang mendadak ikut mengucapkan kematian seseorang. Apalagi kalau memang kita tidak kenal dekat dengannya. Beda halnya kalau kita tahu teman kita missal si B yang gemar fanatic group music YYY dan suatu ketika sangat kehilangan atas kematian salah satu membernya. Kita mengenal B dengan baik jadi kita mewajarkannya. Siapapun ketika ikut bersedih atau berbelasungkawa tak perlu dinyinyiri selama yang tadi saya sebutkan, wajar, dan beretika. Kalaupun pada akhirnya ingin semau gue, ya terserah. Toh nantipun biasanya ada sanksi sosial. 

Akhir kata saya ingin mengucapkan turut berduka cita untuk semua nama di atas dan teruntuk eyang Sapardi Djoko Damono, karyamu abadi. Selamat jalan Eyang, 



Tangerang, 19 Juli 2020
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner