Ada banyak destinasi wisata yang digagas oleh penyedia open
trip. Dari yang domestik sekitaran Jakarta, sampai yang ke luar kota dan bahkan
ke luar negeri. Satu destinasi yang baru saja gue kunjungi berada di daerah Lampung.
Kebayang destinasi wisata apa yang akan gue kunjungi? Pahawang. Sebuah nama
yang mungkin sudah familiar bagi banyak orang pemburu laut, pantai, dan
liburan. Pada akhir September tepatnya tanggal 27-29 September 2019, gue
mengikuti rangkaian open trip yang digagas oleh travel organizer My Permata
Wisata. Dan inilah cerita yang bisa gue bagi.
**
27 September 2019
Meeting point keberangkatan dijadwalkan di terminal Kampung
Rambutan untuk selanjutnya berangkat ke Pelabuhan Merak. Secara geografis tentu
jarak gue yang ada di Tangerang akan lebih cepat dan dekat untuk ke Merak.
Sehingga gue memilih untuk ketemu di Merak. Gue janjian sama temen gue, Sofia,
di Transmart Cikokol sekitar jam 18.30 biar bisa santai buat isi logistik dan
tukar cerita. Jam21.00 kami naik bus ke Merak dengan tariff Rp.25.000. Karena
berangkat hari Jumat, jadi bus penuh banget. Beruntung gue sama Sofi masih bisa
duduk berdampingan.
Betul aja. Gue sampe lebih dulu. Bayangan gue tentang
pelabuhan sangatlah menyeramkan. Entah mungkin ada preman, ada begal, ada
pelaku kriminal lain. Gue takut sebenernya. Juga sama calo-calo yang setengah
maksa. Tujuan gue saat turun dari bus adalah mencari Alfamart dekat loket
penjualan tiket seperti yang diminta Yanti, tour leader kami. Sempet nanya ke
orang yang ada di situ tapi jawabannya meragukan. Katanya Alfamrt adanya di
luar. Untung aja intuisi untuk ikutin penumpang lain bener adanya. Sampailah di
tempat yang dijanjikan.
Sekitar 20 menit kemudian barulah rombongan dari Kampung Rambutan datang. Total peserta ada 7 orang, plus 1 anak usia 3,5 tahun, dan satu orang tour leader. Open trip ini terasa seperti private trip.
Sekitar 20 menit kemudian barulah rombongan dari Kampung Rambutan datang. Total peserta ada 7 orang, plus 1 anak usia 3,5 tahun, dan satu orang tour leader. Open trip ini terasa seperti private trip.
Di Kapal
Masuk ke dalam kapal membawa ingatan gue ke masa SD, ketika
terakhir kali naik kapal Ferry tujuan Lampung demi menghadiri acara pernikahan
saudara sepupu. Yang ada dalam ingatan adalah melihat anak-anak pemberani yang
loncat dari kapal ke laut, betapa akhirnya gue beli alat pembuat pola gambar,
melihat bokap nyobain main catur 3 langkah dengan hadiah bergepok rokok, atau juga
pengalaman menangis sampai tertidur karena dimarahi bokap ketika ingin keluar
dari mobil dan pintu mobil yang gue naekin ngebentur kendaraan lain. Wah, ada
banyak kenangan. Heran juga kenapa gue masih bisa mengingatnya.
Balik ke cerita. Kami semua akhirnya memilih tempat di area
lesehan. Kena tambahan biaya sebesar Rp. 10.000 per orang di luar harga tiket
kapal sebesar Rp. 15.000. Awalnya gue liat dari dek kalau area lesehannya keren
dan nyaman. Model single dengan colokan
masing-masing tepat di atas kepala. Sebagai kaum Twitter rebahan, itu udah
mewah banget buat gue. Yang gue dapet ternyata berpetak-petak tempat lapang dan
kita bisa tidur di manapun. Sayangnya gak ada ketentuan seberapa banyak
maksimal manusia dalam satu petak itu. Jadinya khawatir over capacity dan bikin
gak nyaman. Tapi biar begitu gue tetep ngerasa bersyukur dapet tempat di situ
karena kalau dipikir-pikir bakal rempong kalau mesti cari tempat lagi.
Perjalanan ke Bekauhuni bisa menghabiskan waktu 3 jam. Setelah perjalanan 3 jam
dari Tangerang dan besoknya ada banyak kegiatan menyita energi, tidur adalah
solusi yang paling rasional.
Kapal akan bersandar dan orang-orang mulai turun. Gue dan
Sofi yang emang dasarnya doyan eksplorasi dan pecinta keindahan alam memilih ke
pintu sebelah untuk menuju dek. Sebatas melihat pemandangan dari kapal dan
menunggu mentari muncul. Menunggu keindahan arunika dengan antusias, namun gak
kesampaian karena Yanti menanyakan posisi kami. Mereka sudah di luar. Celaka.
Menantikan arunika |
28 September 2019
Menuju Pelabuhan Ketapang
Kami dijemput oleh dua kendaraan yang akan menemani
perjalanan selama tour berlangsung. Gue, Sofi, dan satu keluarga (Mas
Wasfi,istri, dan putrinya Oi) naik satu mobil. Sementara Vina, Nissa, dan Mbah
didampingi Yanti naik satu mobil lainnya. Kami sempat sholat subuh di sebuah
musholla di pinggir jalan.
Perjalanan ke Pelabuhan Ketapang memakan waktu sekitar 3
jam. Untuk mempersingkat waktu, mobil yang gue naikin masuk ke jalan tol. Yup.
Lampung sekarang punya tol. Menurut supir, jalan tolnya nanti tembus ke
Palembang. Seinget gue nantinya jalan tol ini bakal terus sampai ujung (Medan)
dan jadi jalan trans Sumatra. Coba aja kita nantikan gimana kelanjutannya. Gue
sih ngedukung yah dengan adanya infrastruktur yang cakep.
Sebelum ke Ketapang gue sempet makan nasi uduk di pinggir
jalan. Nasi uduk dengan komposisi bihun, tempe orek, dan perkedel kentang
diganjar dengan satu lembar uang sepuluh ribu. Cukup mengenyangkan meski gak
disuguhi kerupuk sebagaimana lazimnya nasi uduk disajikan. Dengan kondisi perut
kenyang itu kami sampai di pelabuhan Ketapang dan bergegas mengganti pakaian
untuk naik ke perahu dan memulai eksplorasi.
Snorkeling Time
Daya tarik utama dari wisata di Pahawang adalah snorkeling.
Menurut banyak orang termasuk cewek gue, rugi kalau ke sana gak snorkeling
soalnya bagus. Untuk ke spot snorkeling gue dan rombongan mesti naik perahu dan
melakukan perjalanan sekitar 50-60 menitan. Sepanjang perjalanan gue cukup
antusias ngeliat air laut dan bukit-bukit di kejauhan meski awan dan langitnya
gak sebagus waktu gue trip ke Belitung. Kondisi peserta trip yang minim membuat
kami lebih leluasa di perahu. Mamang perahu ngebawa kami ke Pulau Kelagian
Lunik terlebih dahulu sebelum ke lokasi snorkeling. Sebuah keputusan yang bagus
sekaligus meningkatkan antusias liburan.
Para peserta trip |
Pulau Kelagian Lunik
Perahu masih jauh tapi pemandangan di depan mata amat
menggoda. Bayangkan, air yang bening dengan ombak yang tenang dan pasir putih
menghampar. Bukankah itu menarik? Belum lagi ketika kita lihat ke depan ada
pemandangan alam lain berupa bukit. Terasa magis. Ketika perahu bersandar dan
kaki menginjak air laut, kegembiraan itu begitu nyata meski panas matahari
begitu menyengat. Tapi tak apa. Pasir yang gue injak itu ternyata halus. Bisa
jadi itu adalah pasir terhalus yang pernah gue injek. Gue baru sadar itu pas si
Sofi bilang kayak gitu. Iya juga ya. Gue sempet foto-foto di situ dan foto
bareng peserta trip. Kondisi pantai yang aman buat keluarga karena airnya
tenang. Selain foto-foto, di lokasi itu juga ada water sport berupa banana boat
dan donut. Gue kurang tau berapa biayanya.
Akankah perahu asa membawa sejuta renjana? -Perahu, Monita Tahalea- |
Airnya begitu bening dengan pemandangan yang asoy |
Liat deh gradasi warna airnya yang begitu kontras |
Sudut lain dengan pasir putih terhampar |
Sayangnya kami gak bisa berlama-lama di situ karena harus
ngejar lokasi lainnya. Jadinya gue belum bisa eksplor lebih jauh padahal
tempatnya menarik. Peserta tour lain, Vina, bercerita bahwa di sudut lain pulau
itu ada tanaman bakau yang juga menarik.
Snorkeling Pahawang Besar
Kami sampai di spot pertama. Lokasinya di Pahawang Besar. Untuk
bisa menikmati snorkeling ini gue mesti keluar Rp. 55.000 buat satu set alat
snorkeling termasuk kaki katak. Indah banget lho men. Ada banyak ikan hias yang
begitu responsif. Dari yang satu warna hingga banyak warna. Aneka bentuk, aneka
warna, aneka ukuran ramai dijumpai di tiap mata memandang. Belum lagi terumbu
karang yang juga dekat sehingg kita bisa lihat ikan-ikan itu bersembunyi dan
bermain-main di setiap sudut karang. Gue ngerasa bahwa bener yah,
keanekaragaman hayati kita emang dahsyat. Indah dan seneng liatnya.
Selain ada pemandangan ikan dan karang, di lokasi ini juga
banyak batu bertuliskan Pahawang dsb yang air cocok dijadikan latar untuk foto.
Sialnya, Yanti gak bawa kamera underwater jadinya aktivitas di dalam air gak
bisa didokumentasikan dengan baik. Kayaknya gue emang gak berjodoh sama foto di
dalam air soalnya waktu di Belitung juga gitu. Gak ada yang bagus. Juga pas di
Untung Jawa. File-nya ilang semua. Huft.
Pahawang Kecil
Kami mesti pindah sebentar untuk ke lokasi kedua. Di lokasi
kedua ini ikannya lebih agresif dibanding di lokasi pertama. Mereka gak cuma
makanin roti dan biscuit sebagai umpan. Tapi juga nasi dari jatah makan yang
dibagikan. Gue turun sebentar. Niatnya mau lama tapi Nissa sempet ngasih tau
kalau ada ular laut. Ini cukup bikin gue khawatir. Meski gue gak ngeliat adanya
uler laut tapi pas banget ketika gue beberapa kali kena sengatan ubur-ubur, gue
milih buat naik. Cuma Nissa aja yang explore lebih jauh. Katanya di tempat
yang dia datangi lebih bagus. Lebih dangkal sehingga jarak pandang lebih jelas.
Santai di Pantai Apa Namanya
Kalau gak salah namanya Pulau Pasir Timbul. Atau Pulau Gosong.
Gue gak inget apa nama pastinya. Yang jelas di pulau ini ada satu resort
pribadi dan kita gak bisa ngedeket ke situ. Pulaunya sendiri punya tekstur
bebatuan tajam sehingga perlu pakai alas biar gak terluka pas jalan. Ada
tanaman bakau dan riuh pohon kelapa serta vegetasi lainnya. Cukup adem. Tapi di
satu sisi cukup gersang. Bukti bahwa banyaknya tanaman dapat mempengaruhi
lingkungan.
Airnya lagi surut. Jadi daratannnya lebih luas |
Area yang lebih hijau. Di ujungnya ada mushola dan toilet |
Gue sama Sofi cuma makan siang di sini. Makan siang ini
merupakan jatah yang dikasih dari travel organizer. Isinya nasi, ayam goreng,
sambel, dan sayur tumis berisi kacang panjang dengan tempe. Oh ada kerupuknya
juga. Selain makan nasi kotak, gue juga pesen kelapa muda. Harganya
termasukmurah. Cuma Rp. 10.000 untuk satu buah kelapa muda. Termasuk murah lah
yah.
Sempet eksplor sedikit ke area yang lebih banyak pepohonan.
Sebenernya penasaran sama resort yang ada di situ. Tapi ada plang bertuliskan
bahwa tanah itu merupakan tanah pribadi dan diberi pagar dari tali yang diikat
pada patok menandakan bahwa itu adalah daerah yang khusus sehingga gak bisa
dilewati sembarang orang. Dua tanda itu bikin gue gak bisa eksplor lebih dalam.
Tanjung Putus
Menurut Yanti dan mamang perahu, lokasi snorkeling ini
tergolong baru. Cukup masuk akal soalnya gak ada perahu lain di lokasi ini. Cuma
perahu kami aja. Dan gak ada penjaganya. FYI, di tiap pulau atau spot
snorkeling itu biasanya ada orang yang jagain dan narikin retribusi (entah
legal atau illegal) ke perahu-perahu yang bawa rombongan. Gue ngeliat ini di
Kelagian Lunik, Pahawang Besar, dan Pulau Apa Namanya Lupa. Persis kayak mamang
parkir di Alfamart, mereka nagihnya pas perahu mau keluar.
Di lokasi ini ikannya cenderung sedikit. Pas dikasih
umpanpun mereka gak ngedekat kayak di lokasi lainnya. Semula semuanya mager
buat nyebur. Cuma Nissa yang masih semangat. Perjalanan yang cukup jauh bikin
gue (dan mungkin yang lain) tertidur buat ke Tanjung Putus sehingga rasanya
cukup mager buat balik nyebur. Karena cuma satu orang yang nyebur akhirnya
mamang perahu ikut nyebur bahkan sampai nyelam. Pas dia naik dia bawa oleh-oleh
berupa bintang laut. Langsung teringat Patrick.
Gue ikut nyemplung di sini soalnya mikir gak akan ke sini
lagi dalam waktu dekat jadi harus gue manfaatin. Oh ada satu pengalaman agak
aneh buat gue. Itu terjadi ketika air laut yang suhunya berbeda-beda. Di satu
titik airnya hangat namun di bagian lain terasa lebih dingin. Gue kurang tau
kenapa. Apa mungkin air hangat itu karena gue baru aja kena pipis orang?
Kiluan
Seharusnya kami melakukan pembilasan di Tanjung Putus sebelum
kemudian naik kendaraan untuk ke homestay di Kiluan. Tapi karena airnya habis
jadi dibatalkan dan bilas di homestay aja. Perjalanan menuju homestay sekitar
90 menit. Gue agak sedikit tertidur untuk sampai ke sana. Untungnya di beberapa
jalan besar semua sudah dibeton. Jadinya aksesnya mulus. Pas bangun tidur gue
dikasih tau Sofi kalau ada satu ruas yang bolong sangat besar (kayaknya
gara-gara longsor) dan gak ada papan peringatan atau ditutup apa gitu. Jadinya kebayang kan kalau ada orang ngebut, gak tahu ada lobang sebesar itu, langsung
modar kayaknya. Soalnya jalannya itu ada di bukit, bawahnya jurang. Gue baru
bisa lihat langsung pas perjalanan pulang dan… anjay.
Gak banyak kegiatan yang dilakukan di homestay. Setelah
bilas dan pembagian kamar, kami cenderung santai sambil nungguin makan malam.
Gue gak terlalu mempermasalahkan homestay-nya. Cukup nyaman buat gue. Apalagi
ada akses minum tak terbatas dan pemandangan langsung kea rah teluk bikin
suasana jadi lebih tentram. Gue kebagian kamar yang lebih luas meskipun
cowoknya cuma berdua. Kamar dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Kami tidur
untuk agenda penting di pagi hari yaitu berburu ubur-ubur lumba-lumba.
Di homestay menuju makan malam |
29 September 2019
Berburu Lumba-Lumba
Pagi hari setelah sholat subuh, mamang perahu datang bawa
pelampung buat dipakai oleh kami. Kami naik kapal jukong dengan kapasitas
maksimal 3 orang dalam satu perahu. Gue naik bareng Yanti dan Sofi. Perjalanan
ke lokasi hunting memakan waktu sekitar 60 menit.
Sebelum berangkat mencari lumba-lumba |
Guys, gue merasakan pengalaman yang magis ketika di perahu
karena apa yang gue lihat. Ada bukit hijau yang ditutup kabut, cahaya mentari
yang tiba-tiba muncul dari arah Timur, air laut dengan arus yang besar, dan
juga ribuan ubur-ubur yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Ditambah lagi
dengan luasnya ar laut yang seketika terasa seperti sebuah kain besar berwarna
perak yang terbentang dan digoyangkan. Magis sekali. Ketika cahaya mentari
muncul di sebelah timur, gue baru ingat kalau arah perahu kami adalah menuju
Selatan. Seketika teringat penguasa Laut Selatan.
Bukit dengan kabut. Tampak seperti pulau misterius |
Cahaya mentari pagi terbelah awan |
Gue cukup beruntung bisa ngeliat lumba-lumba itu. Kata
mamang perahu, airnya kurang bening dan arusnya begitu kencang. Dua faktor itu
yang bikin lumba-lumba terlihat sedikit. Bahkan katanya sering terjadi pada
pemburu lumba-lumba bahwa mereka pulang tanpa menemukan apapun. Jadi gue masih
lebih beruntung ya. Momen ketika lumba-lumba itu muncul ke permukaan di dekat
perahu itu asyik sekali. Seneng sih ngeliat mereka bisa hidup di habitat
aslinya.
Pulau Kelapa
Serius, satu perahu merasa mual. Termasuk gue. Untungnya sih
gak sampai muntah. Mual gue ini terasa karena ombaknya yang bikin gue ngerasa
terombang-ambing. Sama satu lagi. Gue curiga kalau asap buangan dari motor
penggerak baling-baling yang dipasang tepat di depan gue adalah penyebabnya. Asap
buangan langsung terhirup ke hidung gue. Semoga bukan karena itu ya. Sampai
akhirnya kami singgah di Pulau Kelapa sebelum balik ke homestay.
Ini pulau asik banget men. Ada sekitar 10 kamar yang bisa
disewa, tapi gak tau berapa harganya. Ada sumur dengan air yang harus ditimba.
Ada pedagang yang jual makanan dan minuman standar kayak Pop Mie dan aneka kopi
sachet. Tempat ini cocok buat nyepi atau buat camping. Serius deh.
Selain itu pemandangannya juga asik. Di satu sisi ada bagian
yang cukup kasar dengan menghadap ke air laut langsung sehingga ombak cukup
terasa lebih sering dan lebih deras. Sementara di sisi satunya air terlihat
lebih tenang. Ada juga bebatuan dan batang kayu besar yang bisa dipakai sebagai
ornamen penghias foto. Ketika yang lain sedang asik bersantai dan
beristirahat, gue dan Sofi memilih buat eksplorasi sampai akhirnya Yanti ikut
dengan kami.
Menyusuri tempat tersembunyi |
Pemandangan yang terlihat |
Banyak gelondongan kayu mati |
Gak nau nunjuk apaan |
Aslinya pengen terlihat heroik |
"Berjalan di tepi pantai. Tertiup angin berhembus.." -Hidupku kan damaikan hatimu, Cafeeine- |
Sayangnya pas lagi asyik berfoto, kami dipanggil untuk
kembali ke kapal. Menuju Laguna Gayau.
Laguna Gayau
Jarak menuju Laguna Gayau hanya sekitar 300 meter. Gue pikir
ini jarak yang bisa dijangkau dengan mudah. Ternyata gue keliru karena medannya
yang harus menanjak sekitar 45 derajat. Ternyata untuk sampai ke lokasi ini gue
perlu buat naik bukti dulu. Terus turun ke bukit. Pemandangan dari atas terlihat
menjanjikan. Jadi, hayu lah.
Untungnya akses ke lokasi udah enak karena ada tangga yang
udah dibeton. Juga ada tempat singgah buat istirahat tepat di tengah-tengah
pendakian dan penurunan bukit ke lokasi. Kata guide lokal, tempat ini jadi
sedikit terpelihara sejak dipegang sama pemerintah. Dan ada instruksi keras
buat siapapun yang mau ke sana harus didampingi sama guide lokal karena pernah
ada kejadian pengunjung yang terseret ombak ketika mencoba berenang di Laguna
Gayau.
Laguna Gayau ternyata tempat dengan batu karang hitam yang
begitu besar. Ada dua bagian yang ada airnya dan bisa dipakai untuk berenang
andai ombaknya gak gede. Sebelumnya udah dikasihtau sama guide lokal kalau gak
janji bisa berenang di sana karena alam gak bisa diprediksi. Gue meyakini ini
dan inget kalau Maret lalu pernah gak bisa pulang dari Pulau Pari karena
kondisi angin laut yang begitu kenceng. Kondisi Laguna Gayau juga kurang bagus
buat berenang pas gue ke sana. Kami mesti nunggu sekitar 20 menit buat yang mau
turun dan bermain air. Ombak yang besar bikin aktivitas berenang gak bisa
leluasa. Guide cuma ngizinin sebatas di dekat dengan baru besar dan harus pakai
pelampung.
Menahan debur ombak |
Tempat ini yang biasanya dipakai berenang |
Untuk turun ke sinipun harus izin dulu ke guide |
Gue rasa siapapun yang ke sana perlu berterima kasih sama
mahasiswa UIN Jogja yang ngadain Kuliah Kerja Nyata (KKN) di situ. Karena
mereka bikin semacam landmark dan sign-sign untuk mempercantik objek wisata
Laguna Gayau. Karya mereka yang paling jelas ada pada sign tepat di atas karang
Laguna Gayau. Selebihnya gue kurang tau bikinan siapa. Apakah bikinan mereka
atau bikinan pemerintah. Atau justru bikinan warga sekitar.
Sebuah larangan |
Terima kasih anak-anak UIN Jogja |
Hmm.. |
Pulang
Selesai Dzuhur kami berangkat pulang. Nasi goreng sisa
sarapan masih tersisa banyak. Gue sama Mbah memilih untuk melanjutkan makan
siang dengan sarapan nasi goreng itu. Sebuah langkah yang tepat karena lamanya
perjalanan dari Kiluan ke Pelabuhan bikin perut lapar. Terutama yang dialamin
sama mas Wasfi yang semobil sama gue.
Sejak gue di Lampung, mas Wasfi berulangkali ngajak mampir
ke tempat makan bakso Sonhaji. Menurutnya itu terenak se-Lampung yang juga
diamini sama mamang supir. Katanya kalau sempet tolong mampir. Keinginan itu
terwujud karena lapar yang melanda perlu pelampiasan. Padahal ini gak ada dalam
itinetary. Mungkin karena peserta yang sedikit jadinya bisa mampir ke Sonhaji. Gue
pribadi suka sama baksonya. Untuk satu porsi bakso dengan bihun dijual seharga
Rp. 17.000.
Baksonya enak |
**
Sampai di Merak pas Magrib. Awalnya gue pulang naik Ferry
biasa seharga Rp. 15.000. Mas Wasfi kasih ide buat naik yang eksekutif dengan
harga Rp. 50.000. Alasannya sederhana ; kami ingin cepat sampai. Sebagai
perbandingan aja, kalau kita naik kapal Ferry biasa waktu yang harus ditempuh
selama perjalanan sekitar 3 jam. Sedangkan kalau naik yang eksekutif hanya
butuh waktu 1 jam. Kapal yang akan kami naiki itu baru tersedia jam 7 malam.
Emang ada jadwalnya. Padahal masih setengah jam dari keberangkatan tapi tiap
calon penumpang udah harus segera naik ke kapal. Gw paham sih ini pasti biar
tepat waktu.
Tiket kapal Ferry |
Enaknya naik yang eksekutif ini kita bisa bebas pilih tempat. Ada yang kursi sofa,
kursi rotan, dan yang agak eksklusif di deck samping. Gue pikir itu VIP yah.
Tapi setelah bertanya ke petugas yang jaga ternyata itu bebas dan gak ada
tambahan biaya apapun. Tinggal masalah siapa cepat aja. Gue sendiri terpisah
sama yang lain. Gue sama Sofi duduk di kursi rotan dengan kondisi gak nyaman
karena penumpang di sebelah yang rame banget. Biasa, anak kecil. Tapi
orangtuanya cuek banget. Bukannya dijagain yah. Malah dibiarin. Kan ganggu
penumpang lain. Udah gitu keluarga itu juga ambil spot kursi sofa banyak
banget. Yang harusnya bisa ditempatin 16 orang jadi dipake sama mereka yang Cuma
7-9 orang. Duh jadi ghibah.
Anyway kami sampai di Terminal Eksekutif Merak dan berpisah
di sana. Gue naik bus yang ke Kalideres dan turun di Bitung. Sementara Sofi
naik ke Gebang. Yang lain menyesuaikan dengan tujuan masing-masing. Malam itu
ditutup dengan perpisahan dan foto bersama. Trip ke pulau Pahawang – Kiluan pun
resmi berakhir.
**
REVIEW
Oke ini saatnya review. Yang pertama akan gue review adalah…
travel organizer-nya.
Event Organizer
Seinget gue alasan gue pilih My Permata Wisata karena
ngeliat cuma dia aja yang kasih open trip ke Kiluan. Dan web-nya juga
menjanjikan bahwa berapapun diberangkatkan dan gak ada tambahan biaya. Itu
terbukti dengan tetap terlaksananya kegiatan open trip meskipun pesertanya cuma
ada 8, termasuk anak kecil. Awalnya gue pikir kita bakal digabung sama peserta
dari travel organizer lain layaknya open trip pada umumnya. Tapi mereka enggak.
Itu yang gue bikin open trip ini berasa kayak private trip. Apalagi mampir ke
Sonhaji yang sebenernya gak ada dalam itinetary.
Yanti sebagai tour leader cukup komunikatif dan ramah. Sering
ikut foto-foto dan minta difotoin sampai kami bercandain ini yang tour
sebenernya siapa. Haha. Tapi dia asyik kok. Gue inget betul pas malam hari di
homestay, dia, gue, dan Sofi tukeran cerita dan kasih masukan dari tiap kisah
asmaranya. Yah, dia curhat…
Yang kurang dari tour ini menurut gue adalah… TIDAK ADA
DOKUMENTASI UNDERWATER. Huaaaa…. Jangankan underwater, kamera professional aja
gak ada. Maka dari itu gak ada kan tuh foto-foto gue pas lagi snorkeling.
Padahal kan asik banget di bawah laut. Untungnya Yanti pakai handphone dengan
kamera yang mumpuni. Beberapa kali foto dari kamera dia berakhir dengan rasa
puas ketika melihat hasilnya. Ketiadaan dokumentasi ini sebetulnya gak begitu
jadi salah mereka karena di daftar informasi paket tour ini memang gak
menyertakan dokumentasi sebagai bagian dari paket tour. Saran aja buat mereka,
masukin dokumentasi ke dalam budget tour. Gak apa-apa kalau misalnya agak naik tapi
ada dokumentasi yang ciamik. Pasti pada seneng deh.
Sedikit kecewa lainnya adalah tour gue gak mampir ke Pulau
Pahawang-nya. Kalau liat dari IG yang dikasih si Sofi (namanya @pahawang_nemo)
ada beberapa spot yang bagus. Salah satunya rumah model Maldives yang jadi
homestay-nya. Wah kan seru yah. Atau paling enggak bisa eksplorasi Pulau
Pahawang. Lagi-lagi gue gak bisa protes karena memang mereka gak mencantumkan
itu dalam itinetary-nya.
Tour
Meskipun ada kekecewaan, tapi secara umum gue amat menikmati
tour ini. Worth banget lah. Liat pantainya bagus, snorkeling-nya juga yahud,
dan komplit. Wisata laut, ada. Trekking juga ada. Kuliner? Ada. Lengkap kan. Gosongnya
kulit sebanding dengan pengalaman yang gue dapet. Oh, satu lagi. Gue gak sempet liat swastamita. Sebel deh. Kirain bisa liat pas di pantai, atau liat pas udah di kapal. Ternyata gak jodoh.
Budget
Biaya open trip ini kena Rp. 599.000. Karena gue ambil
meeting point di Merak, harganya jadi Rp. 574.000. Gue mesti bayar penuh
terlebih dahulu, kemudian mereka akan refund. Saat gue tulis ini, mereka udah
kasih uang refund-nya. Selain biaya open trip itu pengeluaran yang gue catat
adalah sebagai berikut :
Bus ke Merak :
Rp. 25.000
Jajan di Transmart :
Rp. 23.500
Tambah biaya lesehan :
Rp. 10.000
Makan nasi uduk :
Rp. 10.000
Sewa alat snorkeling :
Rp. 55.000
Kelapa muda :
Rp. 10.000
Indomie telor :
Rp. 10.000
Kelapa muda lagi (patungan) : Rp. 7.500
Upgrade kapal :
Rp. 35.000
Bakso SOnhaji :
Rp. 25.000
Angkot ke rumah :
Rp. 9.000
TOTAL :
Rp. 220.000
Total biaya yang gue habiskan di luar biaya open trip
sebesar Rp. 220.000. Pengeluaran terbesar ada di sewa alat snorkeling. Rp.
55.000 agak over price gak sih? Tapi karena dipakai seharian jadi yah oke lah. Gue
merasakan betul manfaat dari alat itu. Terutama pas pakai kaki katak yang bikin
laju berenang jadi lebih cepet. Gue juga jadi bisa berenang mundur sambil
terlentang hanya dengan menggerakan kaki. Asik banget. Kalau kacamata mesti
pilih yang bagus supaya gak bocor. Beberapa kali gue kemasukan air pas nyelem
karena kacamata yang gue pilih gak bagus. Semua oke kecuali bayar kelapa muda
sebesar Rp. 15.000. Sebelumnya gue makan kelapa muda cuma Rp. 10.000 dengan
kualitas yang bagus, Sedangkan yang kedua ini gue mesti bayar Rp. 15.000 dengan
kualitas yang kurang oke. Kelapanya tua. Untung belinya patungan.
PENUTUP
Lampung ternyata punya banyak spot menarik dalam wisata
bahari. Keanekaragaman yang disuguhkan mampu membuat kita menyadari betapa
indah dan kayanya alam yang kita miliki. Mengunjungi tempat wisata alam bukan
hanya sekadar memenuhi hasrat bervakansi untuk memanjakan mata,telinga, dan
panca indera lainnya. Tapi lebih itu; rasa. Rasa kita bersyukur, rasa takjub,
dan rasa sadar diri betapa kecilnya kita sebagai manusia. Juga tentang rasa
yang bisa dikenang dalam waktu lama dan mengingatnya di kemudian hari. Rasa itu
kekal. Begitu yang gue rasakan. Terdengar melankolis? Ah, biar saja.