-->

Kamis, 17 Mei 2018

Open Trip Pulau Belitung ; Sebuah Jurnal

Menengok Negeri Laskar Pelangi







Setelah hanya bisa mendengar dan melihat keindahan Belitung dari tayangan televisi, cerita orang-orang maupun foto-foto di Instagram, akhirnya aku punya kesempatan langsung untuk membuktikan apa yang aku lihat dan dengar selama ini tentang Belitung. Ternyata… tunggu. Terlalu cepat untuk memberi kesimpulan.

Kepada Anda tulisan ini aku buat untuk menceritakan bagaimana dan seperti apa perjalanan selama 4 hari yang aku rasakan. Tulisan ini akan sedikit panjang tapi tidak sepanjang jalan pikiranmu. Gaya penulisan dibuat berbeda dengan yang biasanya dikarenakan butuh penyegaran. Mungkin akan sedikit membosankan. Tapi tak apa. I’ll take the risk. Sekadar tips; sebaiknya dibaca saat sedang senggang atau setidaknya ada secangkir minuman hangat dan kudapan di dekat Anda.

Selamat menikmati.

Sebuah Niat

Sesaat setelah melakukan perjalanan ke Dieng pada November 2017, Fifi mengajak aku untuk melakukan sebuah perjalanan kembali. Acara Sriwijaya Travel Fair yang diadakan pada bulan Desember menjadi pembuka untuk melakukan petualangan baru. Fifi yang saat itu kebetulan sedang libur memutuskan pergi ke Gambir Expo, tempat diadakannya acara Sriwijaya Travel Fair untuk melakukan pemesanan tiket murah yang dijual di sana.

Dalam promo yang diiklankan melalui media sosial terdapat informasi rute dan harga yang memang sangat murah jika dibandingkan dengan harga normal. Destinasi yang dipilih saat itu adalah Labuan Bajo dan Belitung. Namun eksotisme Labuan Bajo berhasil membuat kuota tiket yang tersedia semakin menipis akibat larisnya peminat. Fifi gagal mendapatkan tiket promo ke Labuan Bajo. Hanya ada ada 1 tiket tersisa saat itu.

Akhirnya kami ke Belitung untuk penerbangan tanggal 4 Mei 2018 dan penerbangan pulang tanggal 7 Mei 2018. Itupun setelah melalui diskusi yang cukup sengit dalam memilih tanggal terlebih harus mencocokkan dengan ketersediaan tiket yang ada pada tanggal yang kami minta. Kalian tahu berapa harga tiket promo yang kami dapatkan? Untuk keberangkatan kami dapat harga Rp. 285.000 sedangkan untuk tiket kepulangan hanya sebesar Rp. 145.000. Murah? Sangat.

My first flight
Bagiku bukan masalah ke mana kita pergi, tapi dengan siapa kita pergi.

Persiapan

Hari-hari menuju tanggal keberangkatan diisi dengan berbagai obrolan sambil membagi tugas. Aku mencari informasi open trip dari travel-travel agency dan memilih ikut open trip dari Indoribu. Alasan ikut Indoribu karena harga yang ditawarkan cukup murah. Hanya sebesar Rp. 795.000. Travel lain masih banyak yang menaruh harga di atas Rp. 800.000. Dengan melihat itinerary dan bertanya kepada orang yang pernah ikut dengan trip mereka, aku makin merasa cocok dan memilih ikut dengan Indoribu.


DAY 1

Penerbangan kami terjadwal berangkat pukul 08.25 WIB dengan menggunakan pesawat NAM Air yang merupakan low class-nya dari Sriwijaya Air. Aku yang diuntungkan oleh jarak yang dekat menuju Bandara bisa sedikit lebih santai untuk tidak terburu-buru menuju bandara. Lain halnya dengan Fifi yang mesti berangkat jam 03.30 WIB dari Karawang. Itupun harus mengalami kemacetan di jalan tol. Fifi sampai lebih dulu kemudian aku datang sekitar 15 menit kemudian yang diantar oleh supir Grab Car.

Ada cerita seru ketika masuk ke mobil sopir Grab.

Ketika aku masuk dari dalam mobilnya sedang diputar lagu yang sebetulnya aku tidak ketahui. Karena penasaran dan yakin dengan jawaban, aku coba tanyakan ; “Ini Halloween yah?” dan dia jawab “Iya”. Wah ternyata benar dugaanku meskipun aku tidak begitu tahu tentang band tersebut. Setelahnya musik-musik dari Iron Maiden menemani perjalanan ke bandara. Sungguh pagi yang bernutrisi.

Naik Pesawat

Agak malu untuk mengakuinya. Kepergian ke Belitung itu merupakan pertama kalinya aku naik pesawat terbang. Dan pengalaman pertama itu biasanya selalu berkesan. Benar saja. Bagaimana aku dipanggil oleh AvSec (Aviation Security (?)) karena tas aku bermasalah (setelah diketahui ternyata karena ada power bank) maupun dua kali terkena sensor saat masuk gate karena tidak tahu harus menaruh handphone dan ikat pinggang ke tempat yang disediakan (entah apa namanya, yang barang-barang itu ditaruh dalam wadah dan masuk ke mesin berjalan). Aku sedikit curiga jangan-jangan aku dikerjai Fifi.

Singkat cerita kami sudah berada di dalam pesawat. Cukup membuat khawatir ketika melihat di antrian ada keluarga yang membawa bayi. Karena konon keberadaan bayi di dalam pesawat bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi penumpang lain apabila bayi tersebut rewel. Apalagi mereka duduk tak jauh dari tempatku duduk. Sebenarnya aku ingin di jendela tapi tempat itu sudah diambil Fifi. Katanya, aku akan dipilihkan di window seat saat kepulangan nanti.

Dan ternyata naik pesawat cukup seru saat melihat awan putih dari ketinggian tertentu. Sensasi ketika pesawat mulai lepas landas dan berbelok pun sempat membuat agak mual di awalnya. Mungkin karena pertama kali atau kondisi kesehatanku saat itu memang kurang baik. Ketika pesawat sudah berada di atas pemandangan yang kulihat cukup monoton karena langit cukup gelap dan awannya terlihat  kusam. Tapi setelah di ketinggian tertentu barulah hamparan langit biru dan awan putih mulai akrab dalam pandangan dan seakan merayu untuk disapa. Sekarang apa yang menjadi daya tarikku ketika kecil bisa kunikmati bahkan kupandangi untuk waktu yang cukup lama.

Ciie naik pesawat

Sampai di Belitung

Ada di bandara. Lumayan buat spot foto

Pesawat yang kami tumpangi mengalami hentakan yang cukup keras saat mendarat. Aku yakin hampir semua penumpang mengeluhkan hal yang sama.Sempat aku bertanya dengan sedikit bercanda kepada Fifi apakah penumpang pesawat bisa memberikan rating seperti halnya ketika naik jasa angkutan online. Karena jika system itu diberlakukan mungkin bisa menjadi semacam indikator performa dari pilot untuk bisa lebih baik.

**

Tak ada pesawat lain sesampainya kami di Bandara Internasional H.A.S Hanandjoeddin. Sepi sekali, pikirku. Hanya ada beberapa penjemput dan sopir taksi yang berada di sekitar bandara.  Jalanan yang begitu mulus dan lengang membuat perjalanan terasa lancar. Ternyata di sana tidak ada angkot. 

“Harusnya aku tahu kamu”

Setelah sholat Jum’at aku dan Fifi segera bergegas untuk mencari makan siang. Internet memberi kami informasi tempat makan tujuan. Pilihan jatuh ke Pondok Kelapa. Sudah pernah ke sana?

Sebelum aku mengajakmu ke Pondok Kelapa, aku ingin berbagi sebuah cerita yang akan bertahan lama bagiku dan mungkin juga bagi Fifi. Ceritanya begini..

Cuaca saat siang sudah mulai gelap dan ketika kami keluar air sudah mulai menetes dari langit. Hujan. Namun masih hujan ringan dan belum ada tanda-tanda akan membesar. Kami masih terus memacu motor sewaan kami sampai suatu ketika hujan mulai tampak membesar dan kami meneduh untuk memakai jas hujan. Hanya ada satu jas hujan dan jas itu dipakai Fifi. Aku masih bisa menahan dingin namun tidak bisa menahan basah. Sampai di sebuah pertigaan dengan hujan yang semakin lebat Fifi menawarkan untuk meneduh. Kuiyakan karena khawatir dia juga akan kebasahan mengingat jenis jas hujannya yang model Batman. Maka,meneduhlah kami di sebuah tempat yang berada di seberang jalan yang kami lalui.

Tau gak apa yang dibilang Fifi ketika kami baru saja meneduh di situ? Dia bilang :

“Tapi tinggal dua menit lagi sampe lho..”

Di situlah aku merasa terhentak oleh ingatan yang seharusnya melekat, sebagai antisipasi dari situasi semacam ini. Si Fifi itu emang sering berubah-ubah dan sukar ditebak pada awalnya. Misal dia ingin A, tapi gak lama kemudian dia akan memilih B. Tak lama kemudian dia ingin kembali ke A. Eh ternyata yang dipilih malah bisa C. Dalam hal apapun. Entah memilih tempat duduk atau memilih sebuah keputusan.

Aku paham sekali dengan sifatnya yang seperti itu. Dan sudah mulai terbiasa serta sudah bisa mengantisipasi. Tapi hal itu tidak berlaku saat itu. “Harusnya aku tahu kamu yah…” adalah balasan yang aku ucapkan atas tindakannya itu. Fifi tertawa lepas mendengarnya dan aku pun ikut tertawa melihatnya tertawa dan menertawakan kelalaianku dalam mengantisipasi situasi itu.

Aku memiliki teori kenapa aku bisa lalai. Antara kedinginan atau kelaparan atau kombinasi keduanya sehingga membuat pusat memori tergerus dan tak mampu bekerja optimal. Sampai hari terakhir kami bertemu, kisah meneduh ini masih tetap segar saat dibahas dan tawa adalah sebuah reaksi yang wajar yang tak bisa ditawar.

Pondok Kelapa

Kami sampai di Pondok Kelapa dengan pakaian yang sedikit basah karena hujan, kendaraan diparkir tak jauh dari pintu utama menuju restoran. Ada tempat belanja oleh-oleh dan warung kopi yang lokasinya berdekatan dengan restoran Pondok Kelapa itu. Halaman parkir yang tergenang membuat Fifi memilih untuk turun lebih dulu hingga aku berhasil mendapatkan tempat parkir yang tidak terkena hujan. Cukup lama aku di sana karena harus menggeser motor yang ada dan merapikan jas hujan yang dipakai Fifi. Setelah dirasa aman, aku menyusul Fifi untuk masuk ke dalam restoran dan memesan makanan berupa nasi bakar ayam goreng, nasi bakar chicken katsu, teh tawar hangat dan orange squash. Total belanja di situ sekitar Rp. 108.000.

Nasinya enak. Karena lapar kali yah?

Tak ada ulasan yang bisa kuberikan mengingat aku tak pandai dalam mengulas makanan. Hanya saja aku merasa kedinginan karena efek kehujanan saat berkendara tadi. Tapi untungnya rasa dingin itu sedikit terusir dengan kehangatan segelas teh tawar dan jarak yang berdekatan dengan Fifi. Cerita tak jadi meneduh menjadi topik yang diulang-ulang saat itu. Kalau kata lirik lagu Fourtwnty sih gini ;

Hal bodoh jadi lucu
Obrolan tak perlu
Kala itu…
(Fana Merah Jambu)

Kenyang makan dan nge-ghibah, kami mampir sejenak ke outlet yang menjual oleh-oleh yang lokasinya berdekatan dengan tempat kami makan. Adanya beberapa bus pariwisata membuat kami menduga-duga kalau tempat ini akan menjadi tempat pemberhentian kami dalam mengikuti rangkaian open trip. Kami cukup puas dengan melihat-lihat koleksi di sana. Tak ada yang dibeli karena harganya cukup mahal buatku. Perjalanan ke Jogja kemarin seakan memberi standar harga oleh-oleh di tempat wisata. Lagipula kami masih bisa mencari alternatif untuk mencari lokasi penjualan oleh-oleh. Begitu pikir kami.

Level Pedas yang Berbeda

Malam harinya kami memutuskan untuk mencari makan malam. Dengan adanya motor membuat kami tertarik untuk mengitari kota untuk mencari sesuatu yang berkuah. Indomie adalah solusi terbaik yang mampir di kepala kami. Maka ketika kami hendak mencari warkop, kami sempat beberapa kali bolak-balik di jalan yang kami lalui sebatas untuk mencari warkop. Tapi tidak ketemu. Yang ada hanya tukang nasi goreng. Dipilihnya nasi goreng itu karena wanginya begitu menggoda ketika kami lewat. Oke, rasanya cukup meyakinkan.

Aku tahu persis kalau Fifi bukan orang yang suka makan banyak sehingga kami hanya memesan satu nasi goreng pedas untuk dimakan berdua.  Kami minta nasi goreng pedas dengan asumsi pedas yang dimaksud adalah pedas standar. Tapi yang dihidangkan pada kami adalah nasi goreng yang sangat pedas.

Sempat kami bilang ke masnya kalau nasi gorengnya pedas. Kalian tahu apa reaksi dia? Dia kaget sambil melongo seakan tidak percaya kemudian tertawa. Orang di sebelah kami juga tertawa mendengarnya. Dari situ kami langsung teringat bahwa mungkin memang taste-nya berbeda-beda antara satu daerah dengan yang lain. Ke Jogja misalnya. Makanan di sana punya taste manis. Apapun makanannya ada rasa manis. Nah Belitung (yang secara geografis dan kultur) tak jauh berbeda dengan  kebanyakan wilayah di Sumatra lainnya punya taste pedas. Sehingga pedasnya mereka akan berbeda dengan standar pedasnya kita. Pedas level satunya mereka adalah pedas level tiganya kita. Kurang lebih seperti itu. Saking pedasnya kami sampai tak bisa menghabiskan seporsi nasi goreng yang dibanderol dengan harga Rp. 15.000. Menyisakan beberapa suap.

DAY 2

Ikut Agenda Open Trip

Sekitar jam 08.00 kurang sebuah kendaraan Elf menghampiri kami dan ada dua orang yang turun. Satu bernama Agus dan satu lagi yang tidak saya ketahui namanya. Keduanya cukup sigap. Terlihat dari cara mereka memperlakukan kami dengan langsung membawa koper milik kami berdua untuk dimasukkan ke dalam mobil. Kami lalu dipandu untuk mengisi kursi paling depan, bersebelahan dengan sopir. Tujuannya adalah Hanggar 21.

Di Hanggar 21

Tujuan rombongan membawa kami ke Hanggar 21 adalah untuk mencicipi mie atep, makanan khas Belitung dengan dipadu minuman es jeruk kunci. Makan ini sudah termasuk dalam biaya open trip. Ada sedikit kekhawatiran bagiku dan Fifi yang memang tak bisa makan sea food. Tapi setelah makanan itu disajikan kami ternyata bisa cukup berdamai dengan rasa yang disajikan. Sama khasnya dengan mie ongklok yang berada di Dieng, aku semakin penasaran untuk mencicipi jenis-jenis makanan tradisional berupa mie yang ada di Indonesia.


Mie atep. Bukan Atep mantan pemain Persib yah
Sempat dilakukan foto bersama di sini. Dari sinilah semakin terlihat orang-orang peserta tour. Dari 55 orang peserta, paling banyak dari Indoribu. Karena paling banyak itulah aku dan Fifi dialihkan untuk pindah ke mini bus. Tour leader kami adalah Bang Epri. Bersama Bang Epri kami diberi informasi mengenai agenda maupun tempat-tempat yang akan dikunjungi. Dan tempat pertama yang dikunjungi adalah Pantai Serdang.


Foto rombongan di depan Hanggar 21

Pantai Serdang

Perjalanan memakan waktu sekitar 60 menit untuk sampai di destinasi utama. Lokasinya searah jalan ke Manggar. Di pantai Serdang ini kami mendapatkan pemandangan laut yang cukup mengejutkan dengan pasir putih dan garis pembatas antara laut dan langit yang seakan memberi batas antara harapan dengan keinginan yakni sama-sama kuat. Apalagi biru langit bersanding mesra dengan awan putih yang berkeliaran. Pesona langit saat itu sedang bagus-bagusnya. Dan bagian terbaiknya adalah pantai ini cukup sepi.

Tak lama waktu kami di sini. Hanya sekitar 15-20 menit karena kami harus lanjut melakukan perjalanan ke Kampung Ahok yang jaraknya cukup jauh dan memakan waktu sekitar 30 menit perjalanan. Waktu yang cukup panjang untuk bisa tidur atau melihat hasil foto di Pantai Serdang. Beberapa foto :

Bukan model

Tinggal kasih kata-kata mutiara di bagian langit. Biar kekinian

Kampung Ahok dan Museum Andrea Hirata

Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab dipanggil Ahok merupakan salah satu orang Belitung yang sukses selain tentunya Andrea Hirata lewat novelnya yang legendaris berjudul Laskar Pelangi. Keduanya memiliki masa dan massa yang berbeda, dengan nasib yang juga berbeda. Tapi aku tak akan membahas keduanya. Yang akan aku bahas adalah betapa dua orang tersebut mampu melakukan personal branding untuk dijadikan salah satu objek wisata yang ada di Belitung.

Pertama Kampung Ahok.

Kata Bang Epri, tempat yang dikunjungi adalah bekas tempat tinggal Ahok. Rumahnya terdiri dua lantai. Bersebalahan dengan Galeri Daun Simpor. Bang Epri juga bilang “Tapi kita gak akan ketemu Ahok yah. Ahoknya gak ada”. Sarkasm. Mayoritas peserta open trip adalah orang-orang usia produktif dan sudah peka terhadap isu sosial politik tanah air. Sehingga ucapan Bang Epri itu langsung disambut riuh peserta.

Mungkin satu-satunya yang istimewa di tempat ini adalah adanya rumah yang menjual pernak-pernik Ahok. Dari kaos sampai pajangan. Mengingat kasus yang sedang menimpa Ahok, aku penasaran bagaimana reaksi orang-orang yang anti Ahok saat berada di sana. Tidak ada reaksi yang berlebihan memang. Kebanyakan malah ramai mengantri untuk berfoto di depan landmark bertuliskan Kampung Ahok. Aku salah satu yang ikut mengantri.

Lokasinya berseberangan dengan landmark Kampung  Ahok

Banyak pernak-pernik dan souvenir Ahok

Landmark yang diburu

Selanjutnya, Museum Kata Andrea Hirata.

Objek wisata ini terdapat di Kampung Gantong. Letaknya persis di pinggir jalan. Saking fenomenalnya, nama Laskar Pelangi dijadikan nama jalan di situ. Museum Kata terletak di jalan itu.

Karena untuk masuk ke dalamnya dikenakan biaya Rp. 50.000, baik aku maupun Fifi urung untuk masuk ke dalam. Lagipula waktu yang terbatas membuat kami merasa tidak bisa berlama-lama untuk menikmati suasana di dalam. Jadinya kami hanya menikmati makan siang di warung yang ada di sebelah Museum Kata. Sisanya masih ada di area luar museum untuk foto-foto.

Kami menunggu agak lama di sini karena harus menunggu rombongan satu mobil lagi yang tertinggal karena ada peserta yang pesawatnya mengalami delay. Jadinya kami cukup lama dihantam bosan. Mungkin akan beda ceritanya kalau kami menunggu di pantai, atau di objek wisata alam yang  lainnya yang bisa lebih banyak dieksplorasi dibandingkan di museum. Berikut beberapa fotonya.

Ciluk... Ba!

Dominasi warna-warni. Gelap dalam terang

Power of what?
Nama Laskar Pelangi dijadikan nama sebuah jalan

SD Muhammadiyah dan Batu Wentas

Kemudian perjalanan dilanjutkan ke replika SD Muhammadiyah yang dipakai untuk proses syuting film Laskar Pelangi. Tak jauh dari situ ada sebuah tempat yang aku tak ingat namanya. Di tempat itu hanya ada semacam bangunan yang terbuat dari semacam anyaman bambu. Lalu ada semacam geladak dan juga ada perahu. Pemandangan menyajikan langit luas dengan awan menawan dan danau yang kesepian menunggu untuk disapa. Kami menyapanya sekadar untuk berfoto, tak lebih.

Orang-orang masih stay di depan SD, kami langsung lari ke sini. Mumpung sepi
Aloemni angkatan berapa nih? 




Awannya berasa liat film-film Makoto Shinkai
"Eh liat deh, ada promo Tupperware terbaru"

Ala-ala candid
Selanjutnya kami dibawa ke sebuah tempat wisata alam bernama Batu Wentas. Tempat penangkaran satwa bernama tarsisius. Tempatnya sedikit lebih jauh dan masuk ke dalam hutan yang hanya bisa dilalui oleh satu kendaraan roda 4 atau lebih. Permukaan jalan yang semula halus karena aspal kini berganti menjadi lebih bergelombang dan membuat kendaraan goyang namun tidak membuat khawatir.

Tak ada yang istimewa dari tempat ini. Mungkin karena debit air yang sangat sedikit sehingga untuk melakukan aktivitas air seperti berenang menjadi amat terbatas. Padahal di sungai itu cukup menyegarkan. Bisa jadi karena kami sudah terlalu lama menunggu di Museum Kata membuat energi menjadi lebih banyak terkuras. Tak banyak yang melakukan aktivitas berarti selain foto-foto. Aku pun memilih untuk makan Indomie telor, sesuatu yang diinginkan Fifi sejak hari pertama di Belitung. Kami hanya memesan 1 untuk dimakan berdua. Harganya cukup murah yakni Rp. 10.000. Coba bandingkan dengan harga di Museum Kata; satu es teh manis dengan satu es teh tawar harganya Rp. 15.000. Standar harga restoran di mall-mall.

Debit air agak kecil dan udah terlalu lelah

Makan Malam

Bang Epri cukup demokratis untuk menawarkan menu makan malam kepada peserta di bus yang kutumpangi. Pilihan jatuh ke Rumah Makan Timpo Duluk. Karena seating capacity yang terbatas maka kami harus reservasi terlebih dahulu. Hal itu memang diurus oleh TL (tour leader) namun tetap harus berdasarkan persetujuan dari kami. Berangkatlah kami ke sana setelah sebelumnya mampir ke tempat penjualan oleh-oleh. Selain outlet, kami mampir juga ke tempat penjualan makanan kepiting isi. Aku dan Fifi tak menyukai seafood jadi sulit untuk bisa berdamai dengan makanan itu. Kami lebih tertarik pada martabak yang dijual tak jauh dari tempat penjualan kepiting isi.


**

Bayangkan, sekitar 50 orang berkumpul di Timpo Duluk. Belum dihitung dengan tamu lain yang sudah berada di situ. Aku sedikit malas sebenarnya. Terlalu ramai berpotensi telatnya makanan yang datang. Benar saja. Menunggu giliran mendapatkan menu saja sudah lama karena harus bergiliran dengan yang lain. Aku sudah mengajak Fifi untuk mencari alternatif yang berada tak jauh dari tempat kami. Di luar terlihat tempat makan lesehan ayam goreng dan ayam bakar. Belum lagi di sebelah kanannya terdapat warung makanan yang masih samar-samar. Tapi Fifi masih penasaran untuk lihat menunya. Tapi dia merasa kepanasan. Tapi penasaran. Tapi gak enak sama TL. Ah banyak tapinya. Ha ha.

Barulah dia setuju untuk ke luar dan mencari tempat lain, sambil tertawa. Nyebelin  yah dia xD Untung udah biasa.

Anyway kami dapat menu masakan Jawa tak jauh dari tempat kami sebelumnya. Selain kami ada beberapa peserta yang memilih ke luar untuk mencari makan di tempat lain. Karena kami akan berpikir pasti akan lama untuk semua pesanan yang dikeluarkan. Waktu menjadi sesuatu yang sangat berharga saat itu. Apalagi jika dihadapkan dengan rasa lapar yang berpotensi merusak lambung karena telat makan.

Pesanan kami di tempat ini cukup dua nasi putih, ayam, soto ayam, dan dua gelas Nutri Sari. Totalnya hanya Rp. 34.000.

Kembali ke Timpo Duluk, rata-rata orang-orang masih di dalam dan baru mau memakan masakan yang dihidangkan. Sedangkan orang-orang yang memilih makan di luar memiliki waktu luang lebih banyak yang dimanfaatkan dengan cara masing-masing. Aku dan Fifi memilih duduk berdua tepat di pertigaan Timpo Duluk. Duduk di atas tembok dengan kaki menggantung dan wangi aroma got yang sesekali tercium.

Penginapan

Kami menginap di Penginapan Mitra.

Setibanya di penginapan kami semua melakukan pelunasan pembayaran biaya open trip sebelum pemilihan kamar. Aku menyelesaikan pembayaran dan Fifi menunggu koper beserta peserta lainnya di ruang terpisah. Pemilihan kamar dilakukan kemudian.

Hanya ada 4 orang pria di rombongan Indoribu. Aku kedapatan rekan sekamar bernama Maulana. Dia datang bertiga dengan teman lainnya. Namun karena dalam satu kamar hanya bisa berisi 2 orang, maka satu orang tersisa digabung denganku. Si Maulana ini ternyata orang Tangerang juga. Kesamaan daerah domisili membuat kami bisa lebih mudah membaur. Dia bahkan memberikan Chitato untukku dan aku membagi pasta gigi dengannya. Dipisahkannya aku dengan Fifi membuat Mualana berpikir kalau kami sudah suami-istri. Dia tiba-tiba saja bilang “Oh gw kira lo udah nikah bang..” Harusnya kuiyakan saja yah dengan menjawab “Iya.. Tapi emang sengaja gak pake cincin karena males ngelewatin security check di bandara”. Ha ha.

Yang enak Fifi. Karena rata-rata para peserta perempuan datang dengan gengnya, Fifi jadi orang sendiri yang belum mendapatkan teman sekamar. Ada satu lagi sebenarnya. Kak Tjiwi juga datang sendiri namun dia memang sengaja membayar lebih agar kamarnya tidak digabung dengan peserta lain. Jadinya Fifi dengan segala keberuntungannya mendapatkan satu kamar untuk sendirian. Dia bisa bebas memakai kamar mandi, memakai tv, mengatur suhu ruangan, atau sekadar buang angin tanpa harus merasa mengganggu rekan sekamarnya .

DAY 3

Pagi hari
Wangi asiri
Sinar mentari dan langit yang tak lagi sepi.

Malam sebelum tidur TL Regy mengirim voice notes yang isinya informasi tentang agenda di hari kedua. Katanya peserta berangkat jam 08.00 pagi dan jam 07.30 sudah harus stand-by untuk mengejar objek wisata pantai. Hotel telah menyediakan sarapan berupa kudapan kecil dan teh manis yang bisa diambil sejak pagi. Baik aku dan Fifi sudah bangun sebelum jam 06.00 pagi dan memilih untuk segera melihat kudapan untuk sarapan. Hanya ada kue-kue kecil. Manis dan asin. Kurang bertenaga bagiku. Kami tidak tahu berapa banyak yang boleh dimakan sehingga masing-masing dari kami hanya membawa 2 kudapan dan secangkir teh untuk dinikmati di beranda lantai 2.

Rekan sekamarku si Maulana masih tidur. Malam sebelum aku tidur dia sempat pergi ke kamar sebelahnya, tempat 2 rekannya tidur untuk mengerjakan kerjaan kantornya. Aku sempat membercandainya dengan berkata “Yaelah lagi liburan juga,, masih aja” yang disambut dengan tertawa olehnya. Seketika teringat lirik lagu Fourtwnty lagi yang berjudul Diam-Diam Kubawa 1.

Terkuras ideku
Setahun penuh
Liburanku.. Tolong jangan ganggu

Keliling Pantai

Perlu waktu sekitar 45 menit untuk sampai ke lokasi wisata pantai. Semua peserta sudah menyiapkan pakaian untuk bermain air. Agendanya adalah mengunjungi 5 pulau sekaligus. Lima pulau itu adalah Pulau Kelayang, Pulau Pasir, Pulau Burung, Pulau Lengkuas, dan Pulau Batu Berlayar. Masing-masing pulau memiliki pesonanya masing-masing.

Rombongan Indoribu yang memang terbanyak naik dalam 1 kapal bernama Riska Jaya. Total ada 2 kapal yang mengangkut kami. Semua peserta memakai pelampung berwarna jingga yang telah disiapkan di pantai sebelum kami naik perahu. Perjalanan dalam perahu itu memakan waktu sekitar 20 menit. Pulau pertama yang dikunjungi adalah Pulau Kepayang.

Selama perjalanan aku dikejutkan oleh biru langit dan biru air laut yang dibatasi oleh garis horizon yang begitu kabur dan membias. Suara mesin kendaraan pada kapal yang kami tumpangi bergemuruh seiring dengan pemandangan di depan kami; sebuah pulau kecil dengan bebatuan besar yang tampak disusun rapi oleh pemiliknya dengan air yang begitu jernih dan pasir sebagai sandingannya. Awan putih yang tersebar menambah betapa padunya pemandangan itu. Membawaku pada sebuah pengalaman yang akan sampai lama di otakku. Wisata pantai terakhirku ketika ikut open trip ke 3 pulau di Kepulauan Seribu tidak menghadirkan suasana semenarik ini. Pulau Kelayang adalah pulau yang mampu membuatku melayang.

Pulau Kelayang

Kami hanya diberi waktu sekitar 20 menit untuk berada di sini. Waktu yang cukup untuk mengelilingi pulau karena ukurannya yang sangat mini. Waktu yang ada dimanfaatkan untuk foto-foto. Kamera pada iPhone 6 milik Fifi sudah cukup memadai untuk aktivitas pemotretan. TL juga menyediakan kameranya untuk dokumentasi dan bersedia ketika diminta tolong oleh sebagian orang untuk mengambil gambar. Berikut beberapa foto yang kami ambil.

Foto bersama sebelum foto masing-masing

Pulau Kelayang itu memang banyak batu-batu besar

Pulau Pasir

Pulau berikutnya adalah Pulau Pasir yang lokasinya sekitar 5-10 menit perjalanan perahu dari Pulau Kepayang. Pulau ini sangat unik karena keberadaan pulau ini baru ada saat air laut surut. Pada saat air laut pasang dan permukaan air laut meninggi, pulau ini akan ‘hilang’.

Untungnya kami ke sana saat sedang surut dan pulau mini yang hanya terdiri dari pasir ini terlihat dan kami terdampar di sana, menikmati pemandangan dan bermain air sambil melihat jernihnya air. Dari permukaan pasir yang tampak oleh mata aku menduga kalau ukuran Pulau Pasir bisa berubah-ubah sesuai dengan ketinggian air laut. Ini foto-fotonya. 

Penguasa air ceritanya

Ikutlah denganku

Ala-ala

Pulau Burung

Tidak banyak yang kulakukan di sini. Aku,Fifi, dan Maulana memilih bersantai di perahu untuk makan nasi uduk yang sempat kami beli saat perjalanan naik bus dimulai. Sarapan yang hanya kudapan dirasa kurang bertenaga untuk aktivitas sampai tengah hari. Hampir 50% peserta membeli nasi uduk pinggir jalan yang kami lewati sebelumnya. Yah walaupun setelah makan kudapan itu aku dan Fifi berbagi Pop Mie tapi lafar memang datang terlalu cepat.

Bertiga kami makan di perahu sambil menyaksikan teman-teman yang lain yang sedang berfotoria di sekitar pulau tak berpenghuni itu. Bapak yang di perahu memberitahuku tentang asal-usul maupun konflik kepemilikan Pulau Burung. Dari yang semula ada yang mengurus, adanya cottage, sampai larangan masuk,dan kini tak berpenghuni. Kabar itu dipertegas dengan datangnya TL dan crew perahu yang membawa beberapa butir buah kelapa hasil panjatan. Bukti bahwa tidak ada pelarangan, bukti tidak ada penduduk dan wewenang.

Memilih tetap di perahu

Ketika semua peserta kembali ke kapal, jatah makan siang mulai dibagikan. Menu nasi kotak dengan ayam, sayur, perkedel, sambel, kerupuk, dan dilengkapi pudding membuatku tak kuasa untuk menyantapnya kendati sebelumnya sudah makan nasi uduk berdua. Kulahap saja semuanya. Kecuali sampahnya.

Pulau Lengkuas

Akhirnya aktivitas snorkeling.

Dengan dibagikannya google di Pulau Burung dan sedikit tutorial bagi yang belum pernah snorkeling, perahu membawa kami ke dekat Pulau Lengkuas yang menjadi landmark ketika ke Belitung. Dua kapal yang bersandar memberi kami waktu sekitar 30 menit untuk menikmati pemandangan ikan yang ada di air.

Seperti umumnya aktivitas snorkeling lainnya maka tak banyak yang bisa kuceritakan selain fakta bahwa ketika di air aku sempat pipis. Yah mungkin yang lain juga begitu. Oh, Fifi sempat mengalami kesulitan bernafas saat air laut perlahan masuk. Sebetulnya aku juga sih. Entah kenapa google yang kami pakai terasa kurang bagus. Atau tehnik bernafasku saja yang buruk?

Perahu Riska Jaya saat akan berangkat

**

Kapal kemudian membawa kami ke daratan. Pulau Lengkuas. Pulau yang ditandai dengan mercusuar yang menjadi buruan objek foto para wisatawan. Diperlukan sebuah usaha untuk bisa ke atas mercusuar. Kami tak diizinkan oleh TL. Katanya memang tidak boleh. TL bilang kalau dulu memang sempat dibolehkan untuk ke atas namun sejak adanya travel-travel yang kurang bertanggungjawab (seperti membuang sampah sembarangan, atau merusak fasilitas, vandalism) maka dibuatlah peraturan yang isinya melarang untuk naik ke atas. Aku sempat melihat ada orang yang di atas sana dan merasa mungkin aku bisa naik ke atas kalau kenal dengan orang dalam mercusuar atau meminta izin terlebih dahulu agar bisa naik.

Karena tidak bisa naik maka yang kulakukan dengan Fifi hanyalah berada di sekitar pantai. Dengan segala kecemasan yang melanda saat itu karena Fifi mendadak menjadi diam. “I’m fine” it’s biggest women lies. Di kemudian hari barulah aku diberitahu tentang alasan diamnya dia. Sebuah kalimat yang cukup membuatku tertohok. Sebuah karma? Kuharap bukan. Rasa cemas itu muncul sepanjang hari setelahnya. Memang, yang bikin gemas memang selalu membuat cemas.

Sedikit foto-foto :

Mercusuar

Awannya itu lho

Pulau Batu Berlayar

Harusnya kami mampir ke pulau ini tapi TL dengan demokratisnya mengadakan vote kembali. Apakah ingin mampir ke pulau ini atau mau mengejar sunset? Bagi aku yang menuliskan ‘sunset hunter’ pada bio Twitter dan Instagram-ku tentu secara otomatis akan menjawab yang kedua. Menemukan kekasih. Maka kupilih sunset dibanding ke Batu Berlayar. Dan vote ini menang mutlak karena apa yang ditawarkan Pulau Batu Berlayar kurang lebih sama dengan pulau-pulau sebelumnya. Sudah bosan.

Hunting Sunset di Tanjung Tinggi

Harus kuakui kalau tempat ini menawarkan banyak spot untuk menikmati sunset dan menunggu senja. Ada bebatuan besar, pasir, maupun pohon-pohon yang bisa dijadikan sebagai tempat favorit dan ternyaman kita untuk menyaksikan keindahan fenomena alam ini. Paduan laut dengan senja membawaku teringat dengan novel karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku. Ingin rasanya aku memotong senja dan memberikannya pada pacarku. Namun itu tidak kulakukan karena aku sedang bersamanya. Menikmati keindahan, kerawanan, juga kemegahan langit Barat dengan rasa takjub berdua. Duduk berdampingan di atas batu besar merasakan dingin dan hangat yang datang bersamaan.

Suatu hari.. Di kala kita duduk di tepi pantai
Dan memandang ombak di lautan yang kian menepi.


Senjaku senjamu tiada berbeda, Kita sama-sama kan tersesat pada garis matahari yang memudar.

Di penghujung senja, ada rindu yang sulit dieja

Pengalaman yang kurasakan dari momen ini akan bertahan lama dalam ingatan dan perasaanku. Membingkainya dengan rapih dan mengingat detail selengkapnya. Aku menemui kekasih, bersama kekasih.

Kekasih....

Seminggu setelahnya, tepat saat ulang tahunku aku berhasil membuat sebuah karya yang terinspirasi dari pengalaman ini. Sebuah perasaan yang dituangkan dalam bentuk nada dan lirik telah melahirkan sebuah karya berjudul Senja Berdua.

Pondok Kelapa dan Makan Malam

Senja telah pergi. Diganti oleh tabir malam yang perlahan membawa gelap. Bus membawa rombongan kembali menyusuri jalan untuk pulang. Tapi sebelum pulang kami dibawa ke tempat yang pernah kukunjungi sebelumnya yaitu Pondok Kelapa.

Tidak ada yang dibeli di sini karena sebagian peserta sudah membeli oleh-oleh di malam sebelumnya. Aku dan Fifi juga lebih memilih untuk ikut kumpul dengan kak Tjiwi yang sedang kumpul dengan para TL. Semangkuk Indomie, bergelas kopi, dan satu kantong plastik kerupuk kemplang menjadi media pencair suasana kami semua. Obrolan yang lebih intim tersaji di sini. Termasuk obrolan tentang kepemilikan pulau/tanah yang sempat aku singgung sebelumnya. Pesona Belitung menyimpan sebuah cerita gelap di belakangnya yang tidak diketahui banyak orang. Atau mungkin karena tidak peduli. Oh, kami sempat foto ala-ala GAC di sini.




**

Makan malam di hari kedua adalah salah satu yang cukup menyebalkan. Karena Restoran Nelayan Seafood yang kami tuju seakan tidak siap dengan kedatangan kami. Bayangkan, ada sekitar 50 orang lapar yang tiba-tiba datang ketika jam makan malam tiba di mana pada saat itu tamu yang lain juga tengah menunggu pesanannya.

Meja yang belum dibersihkan, dan pelayan yang belum juga muncul membuat beberapa peserta memilih untuk pergi dari situ. Sialnya tak ada tempat makan lain seperti di malam sebelumnya. Ada sebuah gerobak tak jauh dari tempat itu. Tak jelas apa yang dijual. Sepertinya nasi goreng. Kulihat beberapa teman berjalan ke sana.

Aku dan Fifi berbagi meja dengan sepasang kekasih yang juga peserta tour. Semacam double dates. Pasangan di depan kami baik dan sopan. Terbukti dari cara mereka yang tidak segera makan meskipun makanan mereka telah dihidangkan. Mereka baru makan ketika makanan kami tiba. Itupun setelah beberapa kali bolak-balik menanyakan kabar menu kami.

Aku menaruh respek yang tinggi kepada Bang Epri yang merupakan TL di bus kami. Demi mementingkan peserta tour, dia sampai membantu pihak restoran untuk mengangkat piring kotor di meja dan juga mengantarkan makanan dan minuman peserta trip. Teh manis dan teh tawar hangat yang kami pesanpun dia yang mengantarnya. Melihat usahanya yang sedemikian tulus, aku dan Fifi tak enak hati ketika minuman yang kami pesan tersaji dalam keadaan dingin, lengkap dengan es batu. Bukan masalah besar bagi kami.

Oh iya, kami pesan sapo tahu ayam, oseng kangkung, dan dua nasi putih. Sedangkan pasangan di depan kami memesan kangkung tauco, nasi putih, dan satu piring yang isinya ikan dengan bumbu yang begitu lekat. Aku tak ingat apa nama ikan maupun nama menunya. Kami berempat makan dengan sama-sama saling menawarkan makanan yang kami pesan. Total yang kami keluarkan untuk makan malam di sini adalah Rp. 106.700.

Malamnya aku baru tahu kalau ternyata beberapa teman kami memilih untuk pulang ke penginapan lebih dulu untuk mencari makan di tempat lain. Para peserta yang pulang itu dibantu oleh sopir dengan menggunakan mobil Hiace/Elf. Saat aku sampai di beranda lantai 2 tempat kami menginap aku melihat ada bungkus A & W. Hmmm… Jadi ingin.

Drama Minor

Setibanya kami di penginapan sudah ada sedikit drama.

Berpisahnya beberapa peserta trip ke mobil yang mengantar ke penginapan membuat beberapa barang bawaan tertukar. Aku melihat satu seserta yang langsung menghampiri Regy untuk menanyakan perihal tertukarnya bingkisan itu. Di group WhatsApp juga sedang ramai yang membahas itu. Ada 3 orang yang saling tertukar. Salah satu yang tertukar adalah milik Maulana, rekan sekamarku.

Bingkisan yang ada di tangan dia adalah milik perempuan yang ku tak tahu namanya. Karena menginap di penginapan yang sama maka transaksi mudah saja. Keduanya tinggal bertemu di lorong untuk menyerahkan bingkisannya. Aku sempat bercanda mengatakan pada Maulana “Men, kalau lo mau jahat mah mending lo ga usah bilang-bilang di group. Kan lo dapet lebih banyak”. Ini kuucapkan karena setelah bertemu dengan perempuan itu Maulana mengungkapkan sedikit kekecewaan atas sikap si perempuan. Tidak mengucapkan terima kasih atau apa, aku tak ingat pasti. Yang pasti dia menggerutu karena sebenarnya pertukaran itu bukan salah Maul. Andai drama ini masuk dalam Sinetron Cinematic Universe, Maul dan perempuan itu akan jatuh cinta.

DAY 4

Alias hari terakhir.

Pagi masih diawali dengan rutinitas yang sama. Mandi dan sarapan kudapan. Packing dilakukan karena kami harus check out hari itu juga. Mengingat hari sebelumnya yang membuat kami lapar, aku dan Fifi memutuskan untuk mencari makan di sekitar penginapan. Ada warung nasi yang lokasinya berada di perempatan tak jauh dari penginapan. Kami pesan satu nasi dengan 3 gorengan, satu potong ayam, dan satu porsi telor dadar. Menu seperti itu diganjar dengan harga Rp. 19.000.

Pantai Tanjung Pendam

Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Pantai Tanjung Pendam. Kami tidak bisa bermain air karena sudah memakai outfit untuk pulang. Lagipula Bang Epri mengingatkan kami untuk tidak mendekati area pasir dekat laut karena khawatir akan terkena lumpur hisap. Jadinya kami hanya menikmatinya dengan kurang antusias. Mungkin karena wisata laut sudah dilakukan sebelumnya dan ada masa-masa jenuh saat dihadapkan dengan realita yang sama.






Kopi Kong Djie

Nama kopi ini sangat terkenal di Belitung. Banyak warung kopi pinggir jalan maupun yang kelasnya café menawarkan kopi Kong Djie sebagai menu andalan. Rombongan kami dibawa ke warung kopi Kong Djie asli yang sudah bertahan lama. Menepilah kami di sana. Lokasinya yang tepat di pinggir jalan membuat bus perlu parkir agak jauh dari depan warung kopi. Aku dan Fifi bukan penikmat kopi sehingga kami memilih untuk diam di bus bersama para peserta lain. Sekalinya aku keluar dari bus adalah untuk mencari air minum dingin.

Rumah Adat Belitung

Gelas-gelas kopi sudah menyisakan ampas dan cerita yang sama-sama larut. Ditinggal begitu saja oleh penyesapnya. Para penyesap kopi dan pemburu swafoto itu kembali ke rombongan yang sudah menunggu dan bersiap melaju ke objek wisata lainnya yaitu Rumah Adat Belitung yang berada di kota, bersebelahan dengan kantor pejabat.

Layaknya rumah adat di Pulau Sumatra, rumah adat Belitung berbentuk panggung dengan kayu sebagai bahan utama bangunannya. Saat kami ke sana sudah terlalu banyak orang yang berkumpul. Ada rombongan lain yang juga sedang berkunjung di sana. Aku yang awalnya ingin masuk tapi urung karena banyaknya orang. Yang kulakukan hanya pergi ke toilet. Toiletnya kotor dan gelap sekali. Tipikal sarana milik pemerintahan yang kadang tidak terurus dengan baik. Mungkin akan berbeda jika ditangani oleh swasta.

Danau Kaolin

Agak miris untuk menceritakannya.

Kaolin bukanlah nama tempat melainkan nama bahan tambang yang umum dipakai untuk pembuatan porselen. Miris bagiku karena sebenarnya tempat yang kami kunjungi ini bukanlah tempat wisata melainkan bukti bahwa alam kita dieksploitasi untuk diambil kekayaannya dan dibiarkan begitu saja. Iya. Sebenarnya danau ini terbentuk karena aktivitas pertambangan. Jadi bukan terbentuk karena alamiah.

Airnya yang berwarna biru begitu cantik. Dengan latar langit yang juga biru dan awan yang putih semua terasa padu. Ada kendaraan berat di ujung sana. Aku tak yakin yang dilakukannya adalah bagian dari tindakan rehabilitasi alam melainkan aktivitas penambangan. Aku kurang bergairah untuk mengambil gambar. Jadi yang kulakukan hanya mengambil gambar untuk Fifi (yang kebanyakan hasilnya tidak bagus) dan untuk kepentingan tulisan ini. Bohong deh. Aku juga mengambil gambar.

Menganga

Sedang berdoa; "Tuhan, bantu kami merawat bumi ini"

Ala-ala

Siasat Pemberian Tips

Sudah menjadi aturan tak tertulis kalau memberi tips kepada TL adalah sesuatu yang umum. Begitupun saat tour ini. Kami (tepatnya aku) hampir lupa dengan kegiatan ini. Fifi yang mengingatkanku ketika di bus saat perjalanan ke Hanggar 21. Aku berembuk dengan peserta yang duduk di belakang kami. Kak Loly namanya. Dia datang rombongan sebanyak 5 orang. Keberadaan Bang Epri yang standby di kaca depan bus membuat kami harus berbisik-bisik untuk menentukan persetujuan dan jumlah nominal yang disepakati.

Secara perlahan namun pasti aku pindah dari depan ke belakang sebatas untuk memberi informasi ini kepada peserta lain. Dan semuanya setuju. Tinggal menentukan bagaimana dana kolektif ini bisa dilakukan karena masih ada Bang Epri di bus. Tak enak hati. Lagipula kami harus melakukannya diam-diam agar tidak terjadi kesenjangan dengan TL lain. Yah walaupun aku yakin TL lain juga mendapat tips dari rombongan lain yang mereka bawa.

Hanggar 21 (Lagi)

Kembali ke Hanggar 21. Kali ini bayar sendiri.

Karena sudah mencoba mie atep maka kami mencoba menu lain yang sekiranya enak dan segar. Dari sekian banyak menu kami memilih untuk memesan bakso ikan, tekwan, dan dua gelas es jeruk kunci. Total belanja di sini habis Rp. 56.000. Makanannya pun tersaji cukup cepat. Mungkin karena lalu lintas pengunjung yang tinggi membuat crew restoran sudah menyiapkannya dengan baik. Pengalaman bekerja di restoran membuatku tahu apa yang terjadi di dapur sana.

Kuah tekwan jauh lebih segar dibanding bakso ikan

Ketika di Hanggar 21 inilah aku kembali ke teman-teman untuk meminta dana kolektif tips. Para peserta yang duduk terpisah membuatku harus extra keras menghampiri satu persatu dengan misi tidak ketahuan oleh TL. Dan rasanya cukup berhasil.

Dana kolektif sudah terkumpul. Beberapa ada yang memberi lebih dari yang disepakati. Sisanya mengikuti yang telah disepakati. Semua uang itu kuserahkan ke Kak Loly. Tadinya Fifi ingin membantu namun kupikir jangan. Aku khawatir kalau orang-orang akan curiga cenderung menuduh yang tidak-tidak. Maka sebaiknya kuberi ke orang lain. Urusan setelahnya bukan urusanku. Yang penting aku telah melakukan tugasku untuk menyebarkan informasi dan mengumpulkan dana itu.

Saat Pemberian

Saat perjalanan dilanjut menuju bandara, Kak Loly memanggilku dan menanyakan “Mau ngasih kapan?”
“Sekarang aja”
“Yaudah elu ngomong gih. Panggil bang Epri-nya”
“Bang Epri”, kupanggil dia.

Aku bilang kalau kami mau ngomong sesuatu. Maksudnya agar dia maju ke kursi kami. Tapi Bang Epri malah memberi mic dan bilang “Yaudah ngomong aja”

Lah….

Sudah tak bisa mundur. Kuucapkan saja kata-kata yang belum kususun sebelumnya. Pada intinya aku mengucapkan terima kasih kepadanya karena selama 3 hari menjadi teman kami. Untuk itu kami mau ngasih ungkapan terima kasih. Kemudian uang itu diserahkan kepadanya. Pemberian di dalam bus dilakukan sebagai bukti kepada peserta lain bahwa pengumpulan donasi kolektif memang diserahkan kepadanya.

Perasaanku saja rasanya, tapi kulihat Bang Epri agak berkaca-kaca. Rasa tidak enak terhadap TL lain sempat membuat dia bilang “Nanti aja ke Regy”. Tapi aku juga yakin dia merasa tidak enak hati jika menolak pemberian di bus itu. Maksudnya, nih anak-anak udah usaha lho kolekan buat dia. Masa sih ditolak dengan alasan ‘gak enak sama TL lain’.

Mata yang berkaca itu rasanya bukan aku saja yang melihat. Sempat kudengar ada yang berkata “Ciee… Sampai berkaca-kaca”. Mungkin perasaan haru menyelimuti bus siang itu. Bang Epri akhirnya mengambil mic dan mengucapkan terima kasih dan maafnya selama di bus ini. Dia juga bilang meskipun baru bertemu namun seperti bertemu kawan lama. So sweet.

Pulang

Rombongan kembali ke bandara untuk pulang ke Jakarta. Semua muatan dibongkar untuk memilih koper dan barang bawaan masing-masing. Yang paling berat dari pertemuan adalah perpisahan. Kami tiba pada kondisi itu. Kami izin pamit dan berpisah dengan Bang Epri. Dia masih membantu kami untuk menurunkan koper. Aku salaman dan memeluknya, sebagai tanda terima kasih dan respek atas apa yang dia lakukan selama menemani tour. Hal yang sama kulakukan kepada TL Agus dan Regy yang sedang sibuk melayani permintaan foto bareng layaknya selebriti.

Ada satu orang yang murung di foto ini; Bang Epri

Pesawatku Delay

Tiket kepulangan ke Jakarta yang seharga Rp. 145.000 harus dibayar dengan delay sekitar 1 jam lebih. Menyebalkan karena kami ingin cepat-cepat pulang ke Jakarta untuk istirahat. Aku yang berada di Tangerang lebih diuntungkan secara georgafis namun tidak bagi Fifi yang di Karawang. Pulang cepat adalah cara untuk mendapat waktu istirahat lebih panjang sebelum mulai bekerja di esok harinya.

Pengalamanku di CGK yang beberapa kali kena security check membuatku lebih siap dan sigap agar security gates tidak berbunyi. Dan aku berhasil. Sudah pintar. Ha ha. Bercanda. Pengalaman memang guru terbaik.

Sambil menunggu pesawat yang delay aku dan Fifi menunggu bersama penumpang yang lain sampai terasa begitu penuh di dalam ruang tunggu. Peraturan pemerintah yang mengatur tentang kompensasi keterlambatan membuat pihak Sriwijaya Air memberi kompensasi berupa makanan ringan. Terdiri dari satu roti, satu kue, dan satu air mineral cup merk Bilton. Merk yang familiar selama ikut trip dengan rasa yang (menurutku dan Fifi) sedikit aneh.

Butuh yang asin-asin sebenernya

Berangkat dan sampai di CGK

Pesawatku datang. Tak ingat pukul berapa. Yang kuinginkan adalah segera masuk ke dalam pesawat.

Fifi memilih tidur selama di pesawat dan aku memegang kuasa penuh atas kamera pada iPhone 6 miliknya. Posisiku yang kini berada di window seat membuatku bisa nerlama-lama memandangi pemandangan di luar sana yang jauh lebih bagus dibanding saat keberangkatan. Awannya yang berpola layaknya kapas putih mengambang di angkasa dengan anggun. Gampang untuk dibuat takjub olehnya. Kumpulan awan besar yang menggunung membawa imajiku ke cerita dalam komik Doraemon seri Petualangan no 12 ; Nobita dan Negeri di Atas Awan.





**

Tiba di CGK dengan perasaan yang lapar. Keinginan makan junk food sejak di Belitung mengantarkan kami ke KFC di Terminal 2F. Di CGK aku masih bertemu dengan beberapa peserta trip. Maul dan 2 orang temannya yang berangkat lebih akhir dibanding jam keberangkatanku sempat aku temui saat pengambilan koper. Andai tidak delay tentu aku bisa sampai lebih dulu. Tidak hanya dengan Maul, tapi ada juga beberapa peserta lain yang kutemui di sana. Tujuan akhirnya tentu berbeda-beda.

Aku mengantar Fifi ke ujung bandara untuk menemaninya menunggu bus Damri jurusan Karawang ataupun Purwakarta. Yang manapun yang sampai lebih dulu, bus itulah yang akan dinaiki. Sekitar 30 menit menunggu akhirnya bus yang ke Purwakarta tiba. Kami berpisah di situ. Perjalanan kembali ke Terminal 2D (untuk naik Grab) membawaku bertemu dengan Kak Loly yang hendak naik Damri untuk pulang ke Bekasi.

Aku tiba di rumah sekitar jam 19.30 malam. Saat itu juga kasur memiliki magnet yang begitu besar. Membawaku rebah untuk hilangkan lelah. Merayuku lelap namun tak sampai khilaf. Khawatir Fifi kenapa-napa, kutunggu kabar sampai sekiranya dia sampai di tempat yang aman. Jam 22.30 saat dia mengabari sudah sampai di Rest Area dan dijemput oleh ayahnya, barulah aku mencoba tidur.

**

Sebuah Pemikiran

Sudah keceritakan bagaimana dan seperti apa petualanganku selama di Belitung. Kini giliranku untuk bercerita tentang opini yang kudapat berdasarkan pengalaman yang kurasakan selama di sana.

Minimnya Tenaga Kerja Bangunan

Bang Epri memberi kesempatan untuk peserta yang ingin bertanya. Kesempatan itu kuambil karena memang ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Pertanyannya adalah kenapa sejak tiba di Belitung aku melihat begitu banyak proyek yang terbengkalai. Maksudnya adalah, ada sebuah pekerjaan yang menyangkut fasilitas umum tapi tidak ada orang yang mengerjakannya. Di Tanjung Pandan misalnya. Ada pekerjaan jembatan dan galian kabel tapi tidak ada yang mengerjakannya. Sepanjang perjalanan ke tempat wisatapun aku melihat ada pekerjaan proyek terutama di pertigaan. Seperti ingin dibangun tugu. Tapi, tidak ada yang mengerjakan.

Jawaban dari Bang Epri yang mengatakan bahwa mungkin karena hari Sabtu jadinya tidak ada yang mengerjakan. Menurutnya biasanya ada yang mengerjakannya. Teoriku beranggapan bahwa di Belitung memang minim tenaga kerja bangunan. Kuli bangunan. Kuproy alias kuli proyek.

Berdasarkan pengetahuanku yang sederhana ini, kebanyakan para kuproy yang kutahu berasal dari suku Jawa maupun suku Sunda. Nyaris tak pernah kutemukan kuproy yang berasal dari luar suku tersebut. Mungkin ada, tapi tidak sebanyak dominasi orang Sunda dan Jawa. Kaitannya dengan orang Belitung adalah mungkin karena kuli bangunan tidak menghasilkan pendapatan sebesar mata pencaharian terbesar warga Belitung di sektor penambangan, perikanan, maupun perkebunan. Jadinya di sana sangat minim tenaga kuproy untuk pembangunan-pembangunan seperti yang kulihat.

Kepemilikan Pulau

Percakapan antara aku dan Paman Pembawa Kapal Riska Jaya saat berlabuh di Pulau Burung  yang menceritakan tentang kepemilikan pulau pribadi ini membuatku menanyakan kembali ke TL ketika kami menyesap kopi Kong Djie di Pondok Kelapa. Dan mereka pun mengetahui itu. Ada beberapa nama dan cerita yang sempat disebut saat cerita itu. Ketidaklengkapan akan keping misteri itu membuatku mencari tahu data yang valid.

Ditemukan data yang ditulis oleh tribunnews.com bahwa ada 26 pulau yang dikuasai oleh individu. Data ini diperoleh dari catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Belitung Timur. Beberapa nama yang memiliki pulau individu itu adalah para pejabat. You can find it easily on Google.

Usaha Mendukung UMKM

Menurut sumber yang kutemui, ketiadaan Indomaret / Alfamart di Belitung adalah karena pemerintah di Belitung tidak memberi izin kepada waralaba itu karena pemerintah sana lebih mengedapankan usaha lokal sejenis. Makanya di sana akrab kita temui seperti minimarket dengan nama Babel Mart, atau Puncak. Toko yang mirip dengan Indomaret maupun Alfamart itu dimiliki oleh orang lokal sana.

Aku tidak tahu apakah ini baik atau buruk karena begini, pertama-tama, negara kalau mau maju minimal pengusahanya harus 2%. Vietnam dan Filipina sudah berada di angka 4%. Singapura bisa 7%. Indonesia menurut data BPS tahun 2015 berada di angka 1,65%. Nyentuh angka 2 saja tidak. Bayangkan.

Tapi data itu berubah sejak 2017 karena menurut data yang diperoleh dari pernyataan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, jumlah pengusaha di Indonesia sudah mencapai 3,1 %. Data yang diambil dari BPS itu menunjukan bahwa rasio ini meningkat dari data tahun 2015. Meski begitu angka 3.1% masih kalah dibanding negara tetangga yaitu Malaysia yang sudah mencapai 5%. Artinya, kita memang sudah melewati angka minimal persentase jumlah pengusaha sebagai indikator negara maju, tapi negara lain juga sedang melaju sama cepat. Jika tidak didukung oleh pemerintah, kekhawatiran yang mungkin terjadi adalah kita akan semakin terbelakang untuk menjadi negara maju karena lambat dalam mencetak lebih banyak pengusaha. UMKM ini kan rakyat kecil. Mereka tulang punggung ekonomi di Indonesia. Kalau tidak didukung, kasihan.

Sementara itu bisnis-bisnis besar yang sudah punya nama, mereka punya kesempatan dan kekuatan lebih untuk melobby pemerintah. Dengan segala birokrasi yang mungkin saja terjadi, bad things might happens. Yah semoga saja memang yang dilakukan pemerintah Belitung itu adalah upaya untuk mendukung UMKM, bukan karena ada main belakang antara pemerintah dengan pengusaha. Nah lho.

Kerjasama Travel Agency – Tempat usaha

Masih kepada Bang Epri, aku menanyakan apa fungsi stiker bernomor ketika para peserta masuk ke dalam Belut Outlet maupun Pondok Kelapa Outlet, dua tempat yang kami kunjungi untuk mencari oleh-oleh. Semua peserta yang masuk ditempeli stiker outlet dengan nomor yang sama.

Pengalaman Fifi di Bali yang mengalami peristiwa serupa sempat berujar bahwa yang dilakukannya itu merupakan keuntungan yang bisa didapat oleh kita. Mungkin saat pembayaran yang dikenakan diskon, atau sebagainya. Dia tidak ingat persis. Tapi dia bersikukuh bahwa ada keuntungan. Ketika aku hendak membayar belanjaanku (aku membeli  6 gantungan kunci), dia menahannya dan minta untuk bayar bersama karena stiker yang ditempel di baju si Fifi hilang sementara milikku masih ada. Ya sudah kuikuti saja.

Ternyata tidak terjadi apa-apa. Tidak ada potongan harga. Maka kutanyakan saja di bus ke Bang Epri. Jawabannya selaras dengan pikiranku. Pihak outlet bekerjasama dengan travel agency agar mampir ke tempatnya. Nantinya ada komisi untuk si travel itu. Bisa dari jumlah orang yang dibawa atau jumlah nominal transaksi yang terjadi. Nomor pada stiker ditujukan untuk membedakan dari rombongan siapa kita berasal.

Minim Alternatif Oleh-oleh

Jogja masih tempat terbaik bagiku dalam hal belanja oleh-oleh. Bukan hanya bentuknya yang variatif tapi juga harganya yang sangat murah. Berbanding terbalik dengan yang kulihat di Belitung. Okelah, mahal-murah itu relatif. Tapi mesti ada pembanding agar kita tahu bahwa harga yang dikeluarkan memang sesuai dengan yang didapat. Di Belitung, aku tak banyak membeli oleh-oleh karena dari 2 tempat yang kukunjungi (Belitung Outlet dan Pondok Kelapa), keduanya menawarkan harga yang cukup tinggi buatku. Di Jogja kita masih bisa mendapatkan gantungan kunci sepaket dengan harga Rp. 10.000 yang isinya variatif. Ada yang isi 8,5, atau 10. Tergantung bentuk, jenis, dan bahannya. Di Belitung banyak gantungan kunci sejenis yang harganya di atas Rp. 5.000 untuk satu gantungan kunci. Kaos dihargai sekitar Rp.60.000 ke atas. Tergantung ukuran dan jenisnya. Di Jogja, kita masih bisa mendapatkan kaos seharga Rp. 15.000. Padahal amat mungkin harga produksinya sama.

Apa yang membedakan?

Teori pertamaku adalah karena barang-barang itu sudah masuk ke toko. Tidak dijual layaknya pedagang kecil di sepanjang Jalan Malioboro. Sehingga harganya disesuaikan. Bukan hanya untuk keberlangsungan bisnis tokonya tapi juga untuk komisi ke travel agency yang membawa calon konsumen untuk belanja di tempatnya.

Aku mencari alternatif di hari pertama saat belum ikut jadwal open trip. Barangkali ada pasar yang menjual oleh-oleh sejenis dengan harga yang lebih murah. Tapi sepanjang jalan yang kutemui aku tidak menemukannya. Rasanya memang kesadaran masyarakat di sana bukan terpaku pada sektor pariwisata melainkan fokus kepada penambangan, pertanian, dan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Hmm… Aku jadi terpikir untuk berbisnis souvenir.

Ketiadaan Angkot

Percayalah, jalanan di Belitung sangat lengang dengan jalan aspal yang baik. Arus lalu lintas yang sepi ini dikarenakan tidak adanya angkot seperti halnya di kota-kota lainnya. Barangkali hanya taksi dan ojek online yang menjadi sarana transportasi di sana. Di sana ada Gojek kok. Tapi masih terbatas dan tidak sebanyak di sini. Balik lagi ke mata pencaharian utama masyarakat di sana.

Bang Epri dan supir bus menjelaskan bahwa di Belitung sempat ada angkot sampai tahun 2008. Setelahnya mati karena orang-orang di sana mampu untuk membeli motor sendiri. Dengan hasil tambang timah yang mereka dapatkan, cepat bagi mereka untuk bisa memiliki motor karena harga timah yang tinggi. Itulah yang membuat punahnya angkot di sana.

Budgeting

Kini kita masuk ke dalam perincian biaya yang kukeluarkan untuk liburan di Belitung kemarin. Karena aku pergi berdua maka budget ini untuk dua orang. Kira-kira inilah rinciannya :

UMUM Pribadi
Pesawat PP CGK – TJQ  - CGK : Rp. 430.000 (Sriwijaya Air, travel fair)
Grab Car PP Rumah – Bandara – Rumah  : Rp. 120.000
Open trip : Rp. 795.000

Subtotal : Rp. 1.345.000

UMUM Berdua

Sewa Motor : Rp. 60.000


Subtotal : Rp. 60.000 / 2 = Rp. 30.000

JAJAN Pribadi :
Prangko + postcard : Rp. 25.000
Gantungan kunci : Rp. 42.000

Subtotal : Rp. 67.000

JAJAN Berdua
Makan @ Pondok Kelapa : Rp. 107.800
Makan @ Nelayan Sea Food : Rp. 106.700
Makan @ Warung jawa : Rp. 34.000
Makan @ Hanggar 21 : Rp. 56.000
Makan @ KFC Bandara : Rp. 78.000
Makan Nasgor deket hotel : Rp. 15.000
Makan Nasi uduk : Rp. 8.000
Makan dekat hotel : Rp. 19.000
Logistik hari pertama : Rp. 33.000
Jajan di Bandara : Rp. 28.000
Pipis di Pantai Serdang : Rp. 4.000
Pipis di SD Muhammadiyah : Rp. 2.000
Minum di dekat Museum Kata : Rp. 15.000
Bilas di Pantai Kelayang : Rp. 10.000
Jajan di Pantai Kelayang : Rp. 13.000
Uang tips : Rp. 40.000

Subtotal : Rp. 569.500 / 2 = Rp. 284.750

Totalnya : Rp. 1.941.750

Nyaris 2 juta.  Sebuah angka yang sebanding dengan apa yang kudapatkan di sana. Bertemu kekasih, bertemu biru, dibumbui drama, dan pelajaran hidup sebagai bahan evaluasi diri untuk menjadi lebih baik dari pengalaman yang didapat. Einstein pernah berkata “Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman.” Dengan pengalaman yang kudapatkan, kuharap aku mendapat banyak pengetahuan baru yang bisa kumaksimalkan dan kubagi ke sesama untuk dunia yang lebih baik. Semoga.


Kesimpulan

Belitung memang sangat layak untuk dikunjungi. Tapi sebatas untuk wisata bahari dengan mengunjungi pulau-pulau yang kusebut di atas. Jernih air dan biru laut menjadi pemandangan yang menggugah. Cocok untuk mencari inspirasi dan melepas penat. Mencari cara untuk menenangkan diri dari rutinitas yang membosankan sepanjang tahun. Selebihnya tempat wisata di sana bagiku biasa saja. Kampoeng Ahok maupun Museum Kata tidak memberikan kesan yang mandalam. Begitu juga dengan penangkaran tarsisius yang lokasinya cukup jauh dan agak ke pedalaman.

Aku mungkin akan kembali, tapi entah kapan.

Masih ingin mencari pulau tempat bersembunyinya One Piece


Sampai jumpa di tulisanku berikutnya.


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner