-->

Sabtu, 25 November 2017

Jurnal Perjalanan ke Dieng; Negeri di Atas Awan

Julukan Negeri di Atas Awan bikin gw selalu saja membayangkan sesuatu yang magis. Sesuatu yang sifatnya fantasi. Sesuatu yang imajinatif. Sesuatu yang gw anggap cuma eksis di dunia dongeng. Sebuah dongeng yang hampir menjadi mitos dan hanya bisa dibuktikan setelah kita menyaksikannya sendiri. Itulah Dieng. Suatu dataran tinggi di yang ada di Indonesia yang secara administratif wilayahnya terbagi antara Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara.

Dua hari berada di Dieng membawa banyak cerita bagi gw. Dan cerita-cerita itulah yang mendasari gw buat nulis ini. Tulisan yang gw harap mampu nemenin kalian sambil ngopi, atau dibaca sesaat sebelum tidur, atau dalam situasi apapun yang memungkinkan. Selamat menikmati.


Intro

Memilih jasa travel organizer buat ikut open trip jadi satu yang membuat pusing kala itu. Takut penipuan, minim rekomendasi, misteri seputar pelayanan, dan hal lain-lain membuat gw ngerasa perlu buat ngecek dan ngehubungin satu persatu travel organizer yang gw dapet. Awalnya gw mau ke @mau_kemana_si, travel organizer yang pernah gw pakai jasanya pas open trip 3 pulau bulan Setember lalu. Kalian bisa baca liputannya di http://renjiblues.blogspot.co.id/2017/09/one-day-trip-ke-tiga-pulau-kelor-onrust.html

Namun kata CP-nya, trip ke Dieng diundur satu minggu dari jadwal yang seharusnya. Karena gw sudah ngajuin cuti di tanggal tertentu, makanya nama itu gw coret dari list.

Ada 3 nama travel organizer yang gw hubungi. Rani Journey, Treya, dan Revi Travel. Pilihan gw saat itu jatuh ke Revi Travel dengan beberapa alasan. Pertama, dia ngeyakinin kalau trip tanggal yang gw minta sudah pasti akan berangkat karena sudah ada 12 orang yang daftar. Ini menurut gw penting karena jangan sampe kita gak jadi berangkat pas kita udah ngurus hal-hal kayak pengajuan cuti. Makanya pas dia bilang pasti berangkat, gw lega.

Kedua, masalah budget dan fasilitas yang diberikan. Open trip ke Dieng rata-rata rate harga berkisar di angka Rp. 575.000 – Rp. 600.000. Revi memang sedikit lebih mahal dengan mematok Rp. 595.000. Tapi sebanding dengan fasilitasnya. Di Treya, lo bayar Rp. 575.000 tapi makan cuma 3 kali. Dan belum termasuk jajan makanan khas Dieng yaitu Mie Ongklok. Jadi otomatis Treya gw coret dari list gw. Tinggal Revi sama Rani.

Rani ngasih fasilitas yang gak beda jauh sama Revi. Bedanya dia malah ngedonasiin Rp. 5.000 dari biaya pendaftaran untuk kegiatan sosial yang mana mereka telah bekerjasama dengan Dompet Dhuafa. Sesuatu yang positif tentunya.Tapi sayang gw mesti nyoret dia dari list karena saat itu pertanyaan dari gw belum dijawab sampai hari berikutnya. Sedangkan secara paralel gw juga bertanya ke Revi dan mereka cukup fast response. Apalagi dia sempet bilang kalau mereka sudah pasti akan berangkat, maka pilihan jatuh ke Revi Travel untuk jadwal 17-19 November 2017.

DAY 1

Pemberangkatan

Tahu kalau Jakarta bakal macet di hari Jumat setelah pulang kerja, maka gw menyiasatinya dengan berangkat lebih awal ke titik kumpul yang berada di Plaza Semanggi. Waktu yang ditentukan adalah jam 19.30 dan gw berangkat jam 4 sore setelah ashar. Gw memilih untuk naik Transjakarta rute Poris – Bunderan Senayan dari Palem. Untuk ke Palem gw naik Grab (tarif Rp. 8.000) dan pertama kalinya dapet driver cewek.

Sesampainya di halte Taman Palem, gw langsung naik. Beruntung saat itu lagi ada bus yang standby jadi gw gak perlu nunggu lama. Sekalinya nunggu, gw nunggu di dalem bus. Dan ada sedikit perbedaan sama terakhir kali gw pake jasa busway dari Palem. Kemarin pas mau naik, gw mesti bayar dulu di luar bus. Ada staff-nya gitu. Dia masih terima buat bayar cash meskipun saat itu gw juga liat ada beberapa mesin EDC sebagai reader-nya. Setelah bayar, gw naik dan duduk di kursi paling belakang dengan maksud menaruh tas gw di bagian belakang biar gak pegel.

Jam 16.27 bus perlahan berjalan. Duduk di kursi belakang kembali ngingetin gw ke sebuah perjalanan ke Bandung di tahun 2013 bareng Dennis, Anggie, Vie, dan Sugi. Waktu itu juga gw duduk di belakang dan matahari sore tepat di belakang gw. Perjalanan buat jalan-jalan sambil ketemu teman-teman di Bandung; Lisdiani, Cherril, dan Nda. Sengaja nama-nama mereka gw tulis. Gw ingin menyapa mereka melalui tulisan ini. Hei kalian, apa kalian baik-baik saja?

Kutipan yang gw temukan kemudian :

‘Saat ingin melangkah ke depan, kenangan malah memukul mundur’

**

Sampai di Plaza Semanggi, gw langsung ke toilet dan bergegas cari mushola. Musholanya ada di Lantai 5. Terakhir kali gw ke sini itu kayaknya sekitar bulan November 2013. Waktu itu gw ikut gathering-nya anak-anak Kaskus Movie Lover buat tukeran film. Gw inget karena sehabis ikut gath mereka gw langsung cus ke Senayan buat nonton live-nya White Shoes And The Couples Company.

Karena masih ada waktu luang, gw keliling-keliling sambil nyari makan. Pas keliling itu gw baru tersadar kalau di Plangi ada suatu tempat yang paling amazing. Tempat yang gw gak berani buat masuk. Tempat yang dari luar aja udah bisa bikin lo mupeng, takjub. Tempat itu bernama Hiend Guitar. Banyak gitar yang dipajang. Cakep-cakep banget. Gw mau masuk aja malu. Penjaganya juga tahu gw bukan siapa-siapa. Musisi bukan, anak band bukan, kolektor juga bukan. Haha..

Lanjut ke cerita. Akhirnya gw makan di Yoshinoya. Gak kenyang karena nasinya sedikit. Perjalanan 12 jam kan harus diimbangi dengan konsumsi yang cukup biar perut gak kosong. Tapi yasudahlah. Waktu sudah menunjukkan saatnya sholat Isya. Dari Yoshinoya yang berada di Maxx Kitchen (lantai 3A), gw naik ke lantai 5 buat ke mushola. Abis itu gw turun dan standby di lokasi titik kumpul yang ada di Lobby Utara.

**

Gak adanya group Whatsapp buat peserta bikin gw jadi ngerasa waswas. Kumpul di sebelah mana, tour leader gw yang mana, pesertanya yang mana, dan pertanyaan-pertanyaan seputar trip itu bikin gw sedikit cemas. Apalagi sampai waktu yang dijanjikan, tour leader gw yang namanya Gigih belum sampai di lokasi. Sempet muncul kecurigaan kalau gw kena tipu. 

Ada sekumpulan orang-orang yang juga lagi nunggu di Lobby Utara. Dari pakaian dan bawaannya, gw yakin mereka adalah peserta trip. Tapi setelah gw tanya mereka ternyata mereka dari rombongan lain. Ternyata mereka dari Rani Journey. Mereka juga sama, mau ke Dieng.

Yasudahlah gw menjauh. Gw duduk di seberang Lobby Utara, tepat di tangga turun. Di situ gw ketemu sama mbak-mbak yang juga terlihat mau bepergian dan bernasib sama kayak gw; lagi nunggu.

Dan bener aja. Obrolan tiba-tiba meluncur dari kami berdua. Dia ikut travel-nya Tukang Jalan buat perjalanan ke Ujung Kulon. Dari situ juga jadi kepikiran kenapa rata-rata travel agency itu ngejadiin Plaza Semanggi buat tempat kumpul. Selain karena strategis, langsung masuk tol, dan akses kendaraan yang memudahkan serta tersedia selama 24 jam.

Mas Gigih nelpon gw, nanyain posisi gw. Gw langsung samperin dia yang sudah ada di Lobby Utara dan sudah banyak peserta juga. Ternyata gw satu rombongan sama mereka. Kata TL-nya total 18 orang yang ikut. Karena di awal dibilang sudah ada 12 orang yang daftar, gw berkesimpulan bahwa 12 orang yang dimaksud itu adalah rombongan mereka. Sisanya ada sepasang cewek-cewek yang kemudian gw tau namanya yaitu Tia dan Anita. Dua lagi gw masih ragu apakah mereka rombongan dari 12 orang itu atau bukan. Namanya Dewi sama Siska. Sedangkan gw sama travelmate gw yang baru yaitu Fifi. Sisanya yah 12 orang itu.

17 orang peserta ditambah sopir dan Mas Gigih, kami berangkat dari Plangi jam 20.23. Fifi naik dari Karawang jadinya dia gak ikut ke Plangi. Dia nunggu di Rest Area 57. Pukul 23.20 kendaraan tiba di Rest Area. Sekalian istirahat. Ada yang pipis, ada yang ngerokok, ada yang stay di elf. Gw juga ikut pipis di rest area ini. Enak juga tempatnya. Enak karena gratis. Ada tulisan larangan buat ngasih tips ke pegawai. Gw gak tau apakah di semua rest area kayak gini atau cuma di 57 aja. Setelah lengkap, jam 12 malam kami semua melanjutkan perjalanan. Tentu sisanya melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda termasuk gw.

Perjalanan

Selama perjalanan itu gw tidur. Hampir semuanya sih kalau gw perhatiin. Gw sama Fifi juga tidur sambil dengerin musik dari L’Arc-en-Ciel, Lunasea, Tokyo Jihen, Janne D’ Arc, One Ok Rock, dll. Sesekali gw bangun cuma buat minum dan ngeliat sudah sejauh mana perjalanan ini menempuh.

Pemandangan cukup monoton karena gelap. Tapi gw dikejutkan sama banyaknya lampu yang ada di kanan dan kiri. Ada lahan yang diterangi lampu-lampu yang ditempatkan secara simetris. Gw gak tau itu apaan. Bahkan sempat terlintas itu tuh kayak landasan pacu gitu. Belakangan gw baru tau kalau ternyata lampu-lampu itu adalah buat bawang. Kata supir sih gitu. Mungkin sebuah tehnik menanam kali yah. Cukup masuk akal karena saat itu gw udah masuk ke daerah Brebes, sebuah tempat yang terkenal dengan bawang dan telor asinnya.

Pemandangan lain yang sempat memukau gw adalah reflaktor warna merah di pinggir jalan yang akan terlihat menyala kalau terkena sinar. Itu loh... Kayak yang di sepeda. Gw gak tau apa namanya. Tapi yang gw liat itu jarak antar reflaktor itu berdekatan. Jadinya pas kesorot lampu mobil jadi nyala kayak lampu LED yang begitu panjang. Alternatif penerangan karena gw perhatiin sih jarang ada lampu penerangan. Kecuali di KM 247 – 249.

Di kilometer itu penerangan jadi terasa mewah karena adanya lampu penerangan yang tinggi. Bener lho tiangnnya tinggi banget. Ditambah sama reflaktor merah memanjang, pemandangan jadi terasa cukup menyegarkan.

Pemberhentian selanjutnya adalah sebuah SPBU yang ada di Tegal, sekitar jam 03.16. Kami berhenti di SPBU yang gak jauh dari SPBU yang dapet rekor MURI sebagai SPBU dengan toilet terbanyak dan terbersih. Di sini cuma numpang pipis dan nyari cemilan di Indomaret yang ada di situ. Kalau dipikir-pikir kenapa gak berhenti di SPBU MURI itu yah. Kan lebih asyik gitu toiletnya lebih banyak juga. Dan mungkin aja gratis.

Abis itu perjalanan dilanjutkan. Karena kami keluar dari tol Brebes Timur, jadinya beberapa tempat yang sempet kami lewati adalah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Ini pertamakalinya buat gw ke daerah Jawa Tengah. Dalam satu perjalanan gw jadi bisa ke beberapa tempat sekaligus meskipun statusnya numpang lewat.

Oh, ada kejadian juga tuh. Ada dua kejadian kecelakaan di sepanjang jalan yang kami tumpangi. Gw gak tau itu kebetulan atau enggak, tapi kata si Fifi yang duduk di deket jendela dia bilang kalau nama tempat ini  adalah Desa Kramat. Dia bisa tau dari tulisan yang dia baca di jalan. Yang satu tabrakan gitu. Mobilnya sampe hancur. Sedangkan kecelakaan lainnya adalah truk vs truk. Gak gitu jelas karena pas gw liat kehalangan gitu. Banyak kecelakaan karena nama kampungnya yang terdengar angker. Kebetulan atau..... ?

**

Pagi-pagi gw dikagetin sama pemandangan di sebelah kanan. Sunrise yang begitu jingga. Sunrise yang gw liat di Pekalongan ini cukup membuat tertegun. Gw gak sempet mengabadikan momen itu karena terhalang sama dua orang lainnya yang ada di sebelah gw. Jadi gw cukup menikmati dengan cara yang sederhana.

Jalur berikutnya adalah sebuah jalur berkelok, menanjak, dan pemandangan yang hijau ditambah dengan warna putih karena kabut menyambut kami. Semua peserta rata-rata udah bangun karena gak bisa tidur dengan nyaman akibat jalur yang berkelok dan mananjak itu. Atau karena energinya sudah terisi cukup banyak oleh tidur sebelumnya. Bisa jadi kombinasi keduanya.

DAY 2

Home Stay

Puas dengan suguhan pemandangan, mobil kemudian menepi untuk ke home stay. Kami sudah ditunggu sama Mas Fauzi yang menjadi guide lokal di sana. Waktu menunjukkan pukul 8 kurang sesampainya kami di home stay. Nama home stay-nya Pring Gondangi.




Home stay-nya cukup nyaman. Terdiri dari 3 lantai. Kami memakai lantai 2 dan 3 dengan hitungan 5 kamar di lantai 2 dan 1 kamar di lantai 3. Masing-masing kamar diisi sama 2-3 orang. Sedangkan fasilitas yang disediakan adalah welcome drink berupa kopi dan teh, air minum dengan dispenser, pemanas di kamar mandi, wifi, dan 2 buah televisi di masing-masing lantai. Oh, masing-masing lantai juga ada balkon dan 2 kamar mandi. Mereka juga sedia handuk buat yang gak bawa. Terus buat ummat muslim, mereka juga punya ruangan yang luas buat sholat. Lengkap dengan sajadah, sarung, dan mukena. Ruangan ini juga ada kasurnya yang dimiringin ke arah tembok. Kemaren sih gw jatuhin aja biar bisa gw pake. Enak gitu kan tidur di kasur yang luas. Gw sendiri ngerasa nyaman berada di home stay ini. Cuma satu yang gak ada; gitar. 


Lantai 3
Kami di home stay buat nge-drop barang dan mandi sambil makan pertama. Sayangnya pas mau mandi ternyata gas yang buat pemanasnya habis. Jadinya kami gak mandi pake air hangat tapi pake air dingin. Mau lapor ke mas Gigih atau mas Fauzi tapi mereka udah pergi dari home stay. Yah terpaksa kami mandi pake air dingin. Iitung-itung menyesuaikan diri.

Oh makan pertama ini asyik juga loh. Menunya ayam goreng, sayur buncis, dan sayur labu + irisan tempe dan tahu. Sayangnya sambelnya terlalu sedikit. Jadi yang datang belakangan gak kebagian sambel. Buat gw sih gak masalah karena emang gak gitu suka sambel.

Di home stay ini jugalah gw kenalan sama cowok-cowok yang ada di sana. Yang gw inget ada Haryadi, Jimmy, dan Eri. Sedangkan ceweknya yang gw tau cuma Pauline sama Desi. Ada 2 nama Desi btw. Belajar beradaptasi dengan orang baru dan lingkungan baru sambil bincang-bincang tentang apa saja sampai akhirnya mas Fauzi dan mas Gigih datang untuk jemput kami karena waktu untuk eksplorasi akan segera dimulai. Jam 10.00 kami berangkat ke destinasi pertama yaitu Kawah Sikidang.

Kadang-kadang Sikidang Suka Kidding

Lupakan judulnya yang agak alay. Kawah Sikidang menjadi objek wisata pertama yang kami kunjungi. Gw gak tau berapa harga tiket masuknya. Mungkin sekitar Rp. 10.000-an kali yah. Tentu kami gak perlu lagi keluar duit buat semua itu karena emang harga yang kami bayar sudah termasuk tiket retribusi objek wisata.

Sebelum masuk, kami diberi pengarahan terlebih dahulu hal teknis termasuk waktu kumpul kembali. Sekarang gw udah siap dengan outfit yang berbeda. Celana pendek, baju lengan panjang yang dirangkap dua, topi jelajah, tote bag kece milik Fifi dan sandal outdoor. Rata-rata semua juga udah pada ganti sih. Biar lebih kece pas difoto.

Kami juga sempet foto bareng di lokasi awal yang ada tulisan ‘Sikidang’. Dari situ gw baru tah kalau ternyata gw ikut tour-nya Ladita Tour. Artinya, gw ini lemparan dari Revi Travel itu. Atau mungkin cara kerja Revi tuh yah gini. Mereka kenal sama beberapa tour agency dan mereka cuma nitipin peserta-peserta ke tour agency kenalan mereka. Gw pikir gak masalah lah yang penting gw udah ada di Dieng dan sejauh ini sudah dapet fasilitas yang menyenangkan. Dan credit gw pindahin ke Ladita Tour, bukan ke Revi Travel. Good job and service from Ladita Tour.

Sehabis foto-foto kami dibebasin buat eksplor Sikidang. Pemandangan pertama yang kami lihat adalah adanya para pedagang di sekitar pintu masuk. Kemudian gak jauh dari situ ada sekelompok musisi yang lagi maenin musik mereka. Pemandangan yang luas dengan bukit dan pasir putih tampak di mata. Namun yang menarik pertama kali adalah adanya penyewaan burung hantu untuk foto bersama. Buat foto sama mereka kita mesti bayar Rp. 5.000.

Spot foto di Sikidang ini banyak banget. Tapi rata-rata lo mesti keluarin duit lagi sebesar Rp. 5.000. Ada yang bentuknya ayunan, frame bentuk love, foto di mobil Jeep atau spot bertuliskan nama tempat. Rata-rata dipatok harga yang sama. Gw aja mau foto milih-milih tempat dulu. Nyari yang gratis. Haha.


Eksplorasi

Rombongan yang 12 itu masih tertahan di burung hantu. Gw sama Fifi udah lebih dulu melangkah ke depan. Di sana gw ketemu sama Dewi dan Siska, Jadinya kami berempat jalan duluan. Kami ngelewatin aliran sungai kecil terus nanjak ke arah kawah. Gw penasaran ada apa di sana.

Ariel, Fifi, Dewi, Siska

Sesampainya di kawah, ternyata pandangan mata tertutup oleh asap dari aktivitas vulkanik yang ada di kawah. Ada pagar pembatas biar para pengunjung gak ngedeket ke area kawah. Oh, di sana juga ada yang jual telor gitu. Nanti telornya direbus di air kawah yang panas itu. Terus terang gw penasaran sih gimana rasanya. Apakah rasanya sama aja tapi dia punya khasiat tertentu gitu. Tapi rasa penasaran itu gak sampe bikin gw buat beli.

Abis foto-foto di situ, gw sama Fifi jalan lagi ke tempat yang lebih tinggi. Siska sama Dewi tertahan di suatu spot foto berbayar yang dikelola warga. Untuk ke tempat yang lebih tinggi kita perlu sedikit usaha karena gak ada tangga. Cuma ada batu-batuan yang dijadiin pijakan. Karena musim hujan, jalanan jadi agak licin dan kita mesti hati-hati.

Sesampainya di atas ada spot foto lagi. Kali ini bentuknya kayak ujung perahu yang terbuat dari kumpulan bambu. Ada juga yang bentuk ayunan tapi udah rusak gitu. Dengan berfoto di tempat yang lebih tinggi maka pemandangan yang didapet adalah bukit hijau yang menjadi background atau tanah di area bawah. Dua-duanya asik kok.

Mendaki Lebih Tinggi

Gw sama Fifi udah di tempat yang dirasa ujung dari perjalanan. Dengan ditandai adanya papan penunjuk jalan buatan dan sebuah kursi dengan latar dedaunan. Tapi gw liat ada jalan setapak lagi yang terhubung ke sebuah jalur pendakian karena adanya semacam tangga yang terbentuk secara alami akibat sering dipakai berpijak untuk sampai ke atas. Gw ajak si Fifi tapi dia gak mau. Antara capek atau gak berani, entahlah.

Keinginan itu baru tercapai setelah Dewi dan Siska sampai di tempat kami berada. Siska yang juga penasaran akhirnya sepakat dengan gw buat nyobain naik ke atas. Jalurnya cukup terjal dan agak licin. Kami mesti hati-hati buat nanjaknya. Di bawah, Fifi sama Dewi lagi foto-foto dan juga secara gak disangka motoin kami yang lagi nanjak.


Yang bikin penasaran sekaligus yang bikin ragu

Tapi kami berdua gak pernah sampe puncak karena mulai timbul keraguan. Apakah yang kami daki ini memang betul jalur pendakian atau bekas kikisan air  yang mengalir. Nah lho.

Keraguan itu yang akhirnya bikin kami mengurungkan niat buat ke atas. Karena khawatir jangan-jangan area yang kami masukin itu ternyata area terlarang karena bahaya, mitos, dan hal semacamnya. Akhirnya kami turun lagi dan ketemu sama Fifi dan Dewi. Setelah bertemu dengan mereka kami juga ketemu sama rombongan yang 12 orang itu. Jadinya kami foto rame-rame dan turun ke bawah karena waktunya udah habis. Kami harus segera ke objek wisata berikutnya yaitu Batu Ratapan Angin.

Batu Ratapan Angin

Kalau liat nama dan tempatnya, gw sempet mikir kalau tempat ini cocok buat ada di cerita-cerita silat kayak Wiro Sableng. Terdiri dari banyak batu-batu dan banyak kembang terompet serta beberapa spot foto. Ada yang free, ada yang bayar. View utamanya adalah Telaga Warna.


Aku akan menemukan One Piece

Telaga warna ini terdiri dari dua telaga yang berwarna hijau dan biru. Konon kalau warna keduanya sama, maka akan kiamat. Atau akan ada bencana besar. Gw kurang tau pasti tapi mitos-mitos kayak gitu emang biasanya tumbuh subur di kawasan-kawasan wisata alam.

Di Batu Ratapan Angin ini ada beberapa spot foto yang bagus. Misalnya di Jembatan Merah Putih. Tapi buat bisa foto di tempat ini kita mesti bayar Rp. 5.000. Terus di tempat ini juga banyak kembang terompet berwarna kuning yang cantik. Ada juga burung hantu dan kita bisa foto bareng dia. Beda sama di Sikidang, di sini kita bisa foto dengan mengeluarkan uang seikhlasnya.



Kami di sini gak lama karena emang udah mau ujan. Jadinya kami turun ke bawah buat ke Dieng Theater yang masih berlokasi di situ. Peserta banyak yang istirahat di warung sekitar. Gw sama Fifi beli teh hangat dan kentang goreng dengan bumbu BBQ gitu. Satu porsi kentang harganya Rp. 5.000 aja. Di deket situ juga ada mushollanya lho. Jadi buat yang mau sholat bisa pakai ruangan itu.

Masuk ke Dieng Theater, gw ketinggalan karena gantian nungguin si Fifi yang lagi sholat. Pas masuk ke dalam theater ternyata lagi diputer film tentang kawasan Dieng gitu. Semi dokumenter gitu. Mirip-mirip tayangan National Geographic. Ada teks Bahasa Inggris. Filmnya sangat informatif. Tapi gw penasaran ini film diproduksi kapan yah. Andai bisa diperbaharui di beberapa bagian. Biar menyesuaikan zaman gitu. Jadi ada shoot pake drone, maenin fokus, pake filter, action cam, dll. Mungkin dengan cara itu jadi bisa bikin lebih menarik para penonton. Karena pas gw liat penonton yang lain ada yang tidur.

Sehabis film diputar, kami keluar dan berencana untuk ke Telaga Warna. Tapi ternyata hujan sehingga perjalanan ke Telaga Warna terpaksa ditunda. Kami nunggu di mobil buat balik dulu ke home stay. Balik ke home stay buat makan siang dan nunggu hujan reda.

Home Stay dan Adzan Yang Berulang

Makanan sudah tersaji di meja makan. Asik banget. Kami mulai menyantap makanan yang disediakan. Menunya kali ini irisan sosis ayam, irisan telur yang sepertinya dikukus, dan sayur yang gw lupa itu sayur apaan dilengkapi baso kecil-kecil. Kami makan bareng-bareng.

Ada yang cukup menarik perhatian gw di sana. Di sana, gw bisa denger adzan berulang kali dalam rentang waktu yang cukup jauh. Misalnya pas adzan Ashar. Gw denger adzan Ashar beberapa kali padahal waktu masuk sholat Ashar udah lewat dari tadi. Misal adzan ashar jam 15.00, jam 15.10 ada yang adjzan lagi. Jam 15.25 ada yang adzan lagi. Kata si Fifi kalau di Jawa emang suka gitu. Orang yang baru balik dari sawah/ladang gitu langsung adzan. Gw gak gitu inget detailnya.

Telaga Warna

Setelah Ashar perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini ke Telaga Warna. Lokasinya yang saling berdekatan memungkinkan kita buat balik ke home stay dan cabut lagi ke tempat wisata. Di Telaga Warna, tiap orang dikenakan biaya Rp. 8.500 buat wisatawan domestik sebagai tanda masuk. Tentuya gw gak perlu bayar lagi karena biaya yang gw bayar udah termasuk biaya retribusi tiket wisata.


Full cream team

Di Telaga Warna ini gw ngeliat banyak kembang terompet. Mungkin kembang kayak gini emang tumbuh di dataran tinggi kali yah. Terus gw juga diajak keliling buat ngunjungin goa yang ada di situ. Misalnya Goa Pengantin, Goa Sumur, Goa Jarah, dan Legenda Batu Tulis. Masing-masing punya mitos dan kepercayaannya sendiri. Misalnya kalau kita sebagai orang tua ziarah di Batu Tulis nanti anaknya yang gak bisa/terlambat dalam baca tulis bisa dimudahkan. Atau Goa Pengantin yang konon pasangan kalau ke situ nanti dimudahkan. Hal-hal semacam itu. Kata Mas Fauzi, Soeharto pernah berkunjung juga ke salah satu Goa yang ada di sini.

Oh, di Telaga Warna ini ada sekumpulan musisi yang nyanyi dengan asik banget. Sampe gw liat ada rombongan lain yang larut dan ikut nyanyi serta ikut joget bareng para musisi itu. Siapapun yang mau ngasih duit bisa dimasukn ke tempat yang ada di sana. Layak diparesiasi karena emang asik.

Kami gak lama di Telaga Warna karena emang udah agak sore. Rencananya sih mau ke tempat pemandian air panas gitu. Tapi akhirnya gak jadi karena pas mau berangkat udah agak malem. Satu-satunya pilihan yah kami balik lagi ke home stay buat istirahat dan makan malam.

DAY 3

Hunting Sunrise di Bukit Sikunir

Yang paling dicari dan dinanti kalau ke Dieng adalah ngeliat sunrise-nya. Jam 03.00 kami berangkat ke Bukit Sikunir. Udah banyak orang di sana. Gw lupa berapa harga masuknya. Tapi gw sempet denger kalau penjaganya bilang Rp. 180.000 pas sopir bilang 18 orang. Jadi kemungkinan harga tiketnya Rp. 10.000. Cuaca yang dingin memaksa gw untuk memakai baju lengan panjang dua lapis plus jaket tebal, kupluk, celana panjang dan septu. Plus sebuah syal di leher. Tinggal senter aja terus bilang 'A, villa a'. 

Kami briefing dulu sebelum naik ke atas. Gw sempet beberapa kali berhenti buat nemenin si Fifi yang gak biasa nanjak. Saking gak biasanya, dia muntah lho. Dia nyuruh gw buat lanjut aja dan dia nyusul. Gw gak tega dong. Masa udah jauh-jauh tapi cuma liat dari Pos 1. Makanya gw motivasiin terus dengan bilang kalau tinggal 30 anak tangga lagi buat sampai puncak.

Dan berhasil.

Di puncak udah banyak orang-orang yang sampe duluan termasuk rombongan dari kami. Mereka juga sama kayak kami; nungguin sunrise.

Pemandangan dari atas cukup asyik. Ngeliat lampu kota di bawah dan awan yang ada di kejauhan sambil cahaya mentari yang secara perlahan mulai tampak membuat semua lelah terasa terbayarkan.


Credit to Jimmy

Tapi sayangnya itu bukanlah sunrise yang sempurna. Mas Fauzi juga bilang ke gw kalau sunrise kali ini kurang bagus. Biasanya awannya itu bahkan sampai ada di depan mata kita. Lampu kota yang gw liat jadi tertutup awan. Dan itu gak gw dapetin.

Perasaan khidmat dan khusyuk buat sekadar mengucap syukur dan takjub atas ciptaan Sang Pencipta sampe terlupa karena memang banyaknya orang di sana. Kayaknya gw salah pilih tempat. Gimana mau khusyuk, banyak orang cuy. Faktor akhir pekan.


Tebak mana yang namanya Gigih,  mana yang  namanya Fauzi


Gw rasa gw salah tempat. Kalau jalan sedikit lagi maka kita bisa ke tempat yang lebih tinggi dan dijamin di sana lebih sepi. Gw gak liat itu karena gak tau. Dan pas sampe situ kan emang gelap. Gw pikir tempat yang gw naikin itu udah paling tinggi. Okelah kalau tingginya sama, minimal agak sepi.  


Salah satu keindahan yang terlihat dari sebelah barat

Btw keakraban antara para peserta mulai makin kelihatan di sini. Kami foto bareng-bareng, bercanda bareng dan sharing makanan juga. Sampai akhirnya kami turun lagi buat lanjut ke tempat lain.


Sunrise hunter

Badan gw udah ngerasa gak enak pas turun. Kayaknya masuk angin. Padahal gw udah minum tolak angin sampe 4 kali selama di sana. Badan gw gak enak banget saat itu. Atau faktor kurang tidur, gak tau pasti penyebabnya. Yang gw ingin saat itu adalah sampe ke home stay dan istirahat.

Candi Arjuna

Destinasi berikutnya adalah Candi Arjuna yang juga gak jauh dari home stay. Harga tiket masuk buat wisatawan lokal adalah Rp. 15.000. Di dalam area ini ada candi-candi dengan rumput hijau dan juga kembang terompet. Cukup nyaman buat berlama-lama di sini karena area yang cukup luas.


Harapan membuat kita terbang. Semakin tinggi terbangnya, semakin sakit jatuhnya

Di Kompleks Candi ini juga ada kesenian gitu. Tapi mungkin karena masih pagi dan belum ramai jadinya mereka belum perform. Sampai di sini gw baru sadar kalau ternyata para seniman semacam ini ada di hampir semua destinasi wisata yang kami kunjungi. Mulai dari Sikidang, Telaga Warna, Sikunir, sama Candi Arjuna. Cuma di Batu Ratapan Angin aja yang gak ada.

Gak banyak yang bisa gw ceritain di Candi ini karena seperti yang gw bilang tadi kalau badan gw mulai kerasa gak enak walaupun udah agak mendingan sejak gw hajar pake teh tawar hangat dan kentang goreng.



Pada akhirnya kami semua dibawa ke kedai Mie Ongklok yang merupakan salah satu kuliner khas Dieng.

Setampuk Musik Indie di Semangkuk Mie Ongklok

Di sekitaran home stay ada banyak kedai atau warung yang jual mie ongklok. Dan gak lengkap rasanya kalau ke Dieng tapi gak makan mie ongklok. Dari banyaknya warung yang ada kami dibawa ke Selera Raja.

Yang bikin gw kaget adalah di warung ini kami disuguhi oleh musik-musik indie. Mulai dari Star and Rabbit, Danilla, Silampukau, Sore, Monita, sampai Mustache and The Beard. Gak nyangka ternyata kedai ini nyuguhin musik indie.

Selama nunggu makanan gw asik ikut nyanyi dan nikmati lagu-lagu yang diputer. Kalau gw liat sih dia nyalain dari flash disk. Pas di lagu Puan Kelana, gw secara spontan langsung ke speaker yang ada di depan gw dan gw gedein volumenya. Lagu Silampukau yang paling gw suka diputer di sebuah kedai mie di Dieng. Di tempat yang jauh dari kota, musik indie tumbuh subur di kedai ini. Music for all.

Untuk mienya sendiri, hmmm ini pengalaman pertama gw makan mie ongklok. Gw gak sempet googling seperti apa mie ini. Biarkan menjadi misteri sampai gw ngeliat dan ngerasain sendiri. Begitu pikir gw saat itu.

Ternyata mie ongklok itu mie dengan kuah kental mirip lem aibon gitu. Terus ada sayurannya dan di dalemnya ada surprise berupa irisan tahu. Untuk toppingnya ada beberapa pilihan seperti bakso sapi atau sate. Gw pilih pake sate setelah mendengar saran dari mas Gigih. Dan ternyata rasanya memang enak. Gw gak tau yah standar mie ongklok itu gimana rasanya dan apa aja isinya. Karena bisa aja kan isinya beda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Pulang

Mendengarkan lagu Float berjudul Pulang buat nemenin perjalanan rasanya asik banget. Tapi sayang gw gak punya lagunya. Aplikasi Spotify udah gw hapus saat itu. Jadinya sepanjang perjalanan yang diputer lagunya Padi yang baru aja reborn.

Kami pulang setelah beres-beres dan memastikan gak ada yang tertinggal. Sekitar jam 12.30 mobil perlahan melaju meninggalkan home stay dan dengan ditemani cuaca hujan serta kabut yang menutupi jalanan, kenangan itu mulai terukir.

‘Kita kan pulang dengan waktu yan terbuang dan kenangan yang berjalan bersama’ – Api dan Lentera, BARASUARA-

Pemberhentian berikutnya adalah di SPBU di daerah Pekalongan, sekitar jam setengah 3. Jalan yang tadinya berkelok sudah menjadi jalan panjang yang lurus. Di SPBU itu kami pipis, sholat dan makan dari nasi kotak yang sudah disiapin dari home stay. Makanan ini juga udah termasuk dari biaya yang kita bayar kok.

Hampir 45 menit istirahat di situ dan perjalanan dilanjut sampai rest area 101. Istirahat di sini agak lama dibandingin waktu di Pekalongan. Karena lebih cozy kali yah. Jadi enak buat istirahat dan ngelurusin kaki. Bertahan dalam posisi yang sama selama berjam-jam kan bikin pegel yah. Kayak yoga. Iya gak sih?  Gw belum pernah yoga soalnya.

Anyway perjalanan lanjut sampai KM 62, si Fifi turun di sini. Terus sekitar jam 11 lewat 5 menitan kami semua sampai di Plangi, tempat pertama kali kumpul. Habis nurunin semua barang, kami semua pamit. Rata-rata sih pada naik angkutan online. Gw? Busway sampai Kalideres, lanjut dua kali naik angkot. Sampai di rumah sekitar jam 1 malam.

‘Perjalanan inipun kadang merampas bijak hatiku.’ –Perjalanan Ini, Padi-

Penutup

Gw masih ingin ke sana lagi. Karena menurut  gw kawasan Dieng sangat asyik buat yang mau liburan singkat. Karena semua lokasi destinasi wisata saling berdekatan. Kita bisa jelajahi tempat-tempat wisata itu. Gw belum dapet pembanding yang cocok buat ngebandingin Dieng dengan kawasan wisata lainnya.

Golden Sunrise adalah sesuatu yang paling dinantikan saat ke Dieng. Tapi sunrise yang sempurna memang gak datang setiap saat. Dan kita masih harus terbiasa dengan misteri apakah sunrise yang akan kita dapatkan merupakan sunrise yang sempurna atau bukan. Sunrise yang kemarin gw dapet masuk ke dalam kategori yang gak sempurna. Gw curiga faktor kedatangan gw gak cocok karena datang di musim hujan.

Gw juga penasaran sama acara budaya tahunan Dieng Culture Festival yang biasanya digelar di tengah tahun. Kemarenan sebenernya travelmate gw yang satu lagi (KucingKecil) sempet ngajakin buat datang ke Dieng Culture Festival ini. Tapi waktu itu gak jadi karena satu dan lain hal.

Oh, gw juga penasaran sih buat sepedahan di sana. Atau main di ladang-ladang punya warga dan eksplore wilayah-wilayah yang gak ada di tempat wisata. Agak jauh emang. Tapi bisa sewa motor warga.  Karena kemarin gw ikut open trip jadi semua sudah terjadwal. Gw gak bisa dengan leluasa mau kemana-mana. 

Gw suka barang-barang second. Kemarin gw gak liat tempat yang jual jaket-jaket second murah kayak yang pernah diceritain sama KucingKecil. Padahal udah dikasih tahu tapi kemaren gak dapet. Entah tutup entah belum buka. 

Dan kepergian ke Dieng kemarin itu belum bisa sepenuhnya menjawab rasa takjub gw atas julukan Negeri di Atas Awan. Awan yang gw lihat masih sedikit. Tempat gw berdiri pas di Sikunir pun gak ada awan di bawahnya. Ditambah dengan gak dapetnya golden sunrise yang sempurna semakin membuat gw ingin ke sana lagi. Mungkin sekalian nyobain purwaceng. Nyobain rasa dan khasiatnya :p

Dieng, I’ll be back someday.



Foto lain bisa dilihat di akun Instagram @renjiblues
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner