-->

Kamis, 28 September 2017

One Day Trip ke Tiga Pulau; Kelor, Onrust, dan Cipir

Tanggal 27 September kemarin gw sama Sofia berkesempatan buat eksplorasi ke tiga pulau sekaligus. Tiga pulau itu adalah Pulau Kelor, Pulau Onrust, dan Pulau Cipir. Tiga pulau yang berdekatan ini terletak di Kepulauan Seribu, sebelah Utara dari Provinsi DKI Jakarta. Kesempatan mengeksplorasi tiga pulau dalam satu hari ini kami dapatkan dengan ikut travel organizer dengan username @mau_kemana_si  yang gak sengaja lewat di beranda dari akun Instagram gw. And here’s the story....

Hujan deras yang gak diprediksi mulai mengguyur sebagian besar Jabodetabek sejak shubuh dan membuat rencana pemberangkatan sebagian besar anggota trip menjadi khawatir. Bahkan ada yang gak jadi ikut karena hujan deras itu. But trip must go on. Berangkatlah gw ke Dermaga Kamal Muara yang dijadikan titik kumpul. Rute yang gw ambil ngelewatin bandara dengan kondisi hujan rintik saat itu. 

Si Sofi ngabarin kalo dia belum ada yang ngejemput. Tiga jasa pelayanan ojek online yang dipesen semuanya gak ada yang mau pick up. Gw yang udah setengah jalan akhirnya puter balik dan jemput dia. Lumayan loh dari Bandara ke Jelambar dengan kondisi jalanan yang udah macet sejak sebelum Terminal Kalideres sampeeeee Angke. Gw jemput dia jam 8 dan waktu meeting point adalah jam 9. Dan gw sampe ke tempat si Sofi sekitar jam 09.30.

Dengan waktu segitu, gw udah pasrah aja kalo misalnya ditinggal pergi duluan sama mereka. Bahkan udah nyiapin rencana cadangan kami akan pergi ke mana. Gw juga udah mikir kalo misal ditinggal yaudah kita nyusul aja ke sana meski mesti bayar lagi biaya perahu. Untungnya pas gw cek di grup WA, banyak juga yang masih kejebak macet. Jelaslah. Ujan sama macet jadi kombinasi sempurna yang berlaku universal di jalanan Jakarta kalo waktu yang kebuang adalah sesuatu yang gak bisa ditawar. 

Sampai di pertigaan besar dekat kantor Kelurahan Kamal Muara (baru tau pas baliknya), kami ditelpon sama tim mereka dan mereka bilang ditunggu segera. Di sini gw agak kaget juga sih karena pas gw cek di lokasi titik kumpul, gw liat ada banyak orang yang juga lagi nunggu. Oh, nama tempatnya Gedung Biru. Di Gedung Biru itu gw nebak-nebak apakah mereka ini termasuk rombongan atau bukan? Dari lokasi parkir gw telpon si panitia dan ternyata lokasi daftar ulang itu agak masuk ke dalam. Dari tempat parkir motor gak keliatan soalnya. Kekhawatiran kami ada dua; ditinggal atau kami salah tempat. Dan kekhawatiran gw gak kebukti karena pas gw cek ke dalam, lokasinya emang bener. Langsung daftar ulang dan ke WC, pipis. 

***

Gw bukan satu-satunya yang terakhir. Karena di belakang gw berturut-turut datang rombongan lain. Ada yang berdua, bertiga, bersatu juga ada. Sehingga gw gak mesti ngerasa sangat berdosa membiarkan teman-teman yang udah nunggu duluan karena masih ada yang telat selain kami. Sekitar jam 11.00, semua rombongan berangkat pake dua perahu motor dengan suara mesin yang khas. Dua kapal itu diberi nama ‘Prau’ dan ‘Komodo’. Gw sama Sofi naik di kapal Komodo. Dan perjalanan menuju Pulau Kelor dimulai dengan waktu tempuh 45 menit.

Pulau Kelor
Sampai di Pulau Kelor sekitar jam 11.45 dan sudah banyak peserta yang lagi asyik foto-foto dan eksplorasi Pulau Kelor yang luasnya masih kalah kalo dibandingin area Monas. Orang-orang yang datang duluan ini merupakan rombongan @mau_kemana_si yang berangkat duluan. Belakangan gw baru tau kalo total ada 80 orang yang datang dari sekitar 110 yang daftar. Dua perahu lainnya diberi nama ‘Dieng’ dan ‘Parang’. Kayaknya cuma kapal kami aja yang namanya beda sama tiga nama lain yang merupakan nama gunung.

Pulau Kelor, dari perahu

Panitia ngasih pengarahan terlebih dahulu tentang waktu kumpul kembali. Katanya, jam 12.30 kami udah mesti balik ke dermaga buat berangkat lagi ke pulau kedua. Waktunya cuma 45 menit namun gw rasa itu cukup sih buat mempelajari sejarah di sana dan foto-foto buat stok foto di Instagram. Selain Benteng Martello yang menjadi mark dari Pulau Kelor, di sini terdapat tiang-tiang entah apa itu. Pemecah ombak model klasik? Entah. Gw juga bertanya-tanya itu apaan.

Benteng Martello

Reruntuhan dan tiang penyendiri

Di sisi lainnya ada tepian pantai dengan pasir putih dan air yang cukup cantik. Apalagi sudutnya nyaris membentuk sudut 90⁰ sehingga terlihat menarik ketika ombak datang dari kedua arah. Gw yang sempet kecewa dengan perjalanan ke Untung Jawa dua minggu sebelumnya karena gak nemu pasir, di sini cukup terpuaskan. Cukup lama gw di situ cuma buat mengakrabkan kaki dengan pasir dan air laut. Pasir di pojokan ini bukan satu-satunya. Di deket Benteng Martello dan tiang-tiang kesepian itu ada juga pasir. Namun pasir di pojokan yg gw ceritain jauh lebih menarik gw. Mungkin karena lebih sepi. 

Tepi pantai yang dimaksud

Ke sisi selanjutnya, Benteng Takeshi Martello. 

Di sekitar Benteng ada informasi mengenai fungsi dan sejarah benteng. Ada sisa reruntuhan di sekitar benteng yang runtuh entah karena serangan armada Inggris atau karena diterjang ombak, atau kombinasi keduanya. Yang jelas benteng ini punya peran yang cukup vital di masa lalu.

Ada meong


Pulau Onrust



Pukul 12.45 kami berangkat kembali ke Pulau Onrust. Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit. Pulau ini jauh lebih besar kalo dibandingin sama Kelor. Pulau Onrust juga punya lebih banyak situs. Kayak penjara, ruang interogasi, makam Belanda, dll. Yang pasti Pulau Onrust ini sempet dijadiin tempat berkumpulnya para haji. Semacam asrama haji gitu di era setelahnya.

Berdasarkan guide lokal yang ngebantu kami, diceritain bagaimana kondisi Onrust di masa lalu. Mulai dari adanya penjara, ruang interogasi, dan juga arena gladiator yang mengadu sesama tawanan orang Indonesia untuk saling bertarung. Mungkin sampe mati. Ngeri juga sih ngedengernya. Dan lagi yang menang pun cuma dikasih kesempatan buat kabur ke tepian pantai dan ketika di pantai, dia ditembak. Kejam yah..

Guide lokal sedang menjelaskan area gladiator

Kami dibawa keliling lagi. Mulai dari makam Belanda dengan cerita cinta antara Maria yang mati ketika menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang, sampai ke makam keramat yang diduga makam Kaliwarang, yang mungkin pada saat itu merupakan tokoh paling berpengaruh. Penjelasan si Bapak itu bikin gw ngebuka lagi buku karya Susan Blackburn yang berjudul Jakarta, Sejarah 400 Tahun buat nyocokin data aja. Emang sih di buku ini gak dijelasin tentang Onrust. Tapi di buku ini juga dibahas kondisi saat itu. Kayak upah orang lokal yang dibayar lebih murah dibanding asing (yang memicu pemberontakan di Onrust), juga tentang peran Pangeran Jayakarta dan Kesultanan Banten di masa lalu. Baik dari buku maupun tour guide, semua selaras.

Makam Maria

Sebelum guide lokal ngajak kami berkeliling, panitia ngasih tau agendanya yaitu Ishoma. Isttirahat, sholat, makan. Banyak dari peserta yang memanfaatkan momen  itu untuk berisitrahat dan makan di dua warung yang ada di dekat dermaga. Gw milih sholat dulu dan sekalian ke WC karena udara dingin pasca hujan bawaannya pengen pipis terus. Untungnya di kawasan ini gak terlalu komersil karena baik ke musholla maupun ke toilet semua fasilitas itu gratis. Gak ada mamang-mamang yang jaga dan masang tarif. Lebih bersahaja sih. Andai di semua pulau/tempat wisata seperti ini. 

Pas gw makan, si Sofi makan di situ. Menurut dia harganya cukup mahal. Demi nasi, ikan kecil, dan sayur bening isi kentang, kol, dan wortel, Sofi harus merogoh kocek 18.000 dan itu belum termasuk minum. Harga Indomie polos (tanpa telor) sebesar 12.000. Saran gw, mending lo bawa bekal untuk ngeganjel perut. Terserah deh mau makanan ringan atau makanan berat. Kalo kata Sofi, harga itu gak cukup berharga untuk makanan yang didapet. Kalau kalian mau, beli indomie di Pulau Cipir (pulau ketiga) jauh lebih bersahabat. Dengan harga 10.000, lo udah dapet Indomie rebus plus telor. 

Balik lagi ke Onrust. 

Karena gw gak jadi makan, gw keliling nyari si Sofi yang udah explore duluan. Gw sendiri udah cukup jauh berjalan setelah sholat. Tapi gw gak ketemu si Sofi karena arahnya yang berbeda. Setelah kita ketemu lagi, barulah gw keliling berdua bareng dia. Perjalanan berdua ini bener-bener meng-eksplore pulau. Nyaris semua sudut dijelajahi. Dari ayunan tersembunyi yang mungkin gak diketahui peserta lain karena terlalu asik beristirahat dan guide lokal gak ngebawa kami ke tempat itu. Kami terus menyusuri tepian pulau sampai ke ujung dermaga. Sedikit mengobrol dengan pemancing dan bermain dengan kucing menjadi acara yang dilakukan selama mengitari pulau. Hingga akhirnya ngeliat rombongan berjalan searah dan ternyata lagi ada penjelasan dari guide lokal untuk wisata sejarah. Kami langsung nyusul dan ikut mereka. Abis itu silahkan baca lagi dari atas.


Haus



Pulau Cipir
Pulau Cipir merupakan destinasi terakhir dari semua perjalanan eksplorasi tiga pulau ini. Lokasi antara Pulau Onrust dan Pulau Cipir gak terlalu jauh. Saling berseberangan. Jadinya waktu yang dihabiskan gak terlalu banyak buat perjalanan. Sayang cuaca gak terlalu bersahabat karena sempet hujan ringan yang bikin mager. Dan anginnya lumayan kenceng. Dari dermaga kayu, riak air cukup besar menandakan kencangnya angin. Gw juga ngerasa kedinginan di sini. Baju lengan panjang yang gw pake cukup membuat menahan angin. Entah deh si Sofi yang pake hot pants dan baju lengan pendek. Harusnya sih dia gak kedinginan karena pake hot pants (celana panas).

Aku akan menemukan One Piece



Floatie unicorn yg kesepian


Oh, di Pulau Cipir ini ada water sport. Banana boat sama doughnut. Permainan yang sama dengan yang gw maenin di Untung Jawa. Untung gw gak naik. Soalnya selain harganya cukup mahal (Rp. 35.000 / permainan), harga segitu gak cukup berharga kalo gw bandingin sama di Untung Jawa. Di Untung Jawa, gw dijatuhin 2 kali pas banana boat. Di Cipir cuma sekali. Udah gitu jatuhnya cuma di pinggiran pantai. Waktu gw di Untung Jawa, lokasi dijatuhinnya itu di tengah-tengah laut. Jadi cerita serunya itu bukan sebatas dijatuhin basah-basahan sambil haha-hihi. Kondisi mengapung di lautan sambil berusaha naik lagi ke banana boat itu jadi cerita lainnya yang sayang buat dilewatin. Doughnut juga sama. Kalo di Cipir lo sebatas dibawa ngebut-ngebutan doang. Waktu di Untung Jawa, doughnut yang gw naekin sampe ditebalikin pas tikungan tajam. And the best part of that moment is we never told before. Kita tuh gak dikasih tau bakal dijatohin. Jadi kayak kaget gitu. Apakah ini bagian dari rencana atau sebuah kecelakaan. Melihat si mamangnya yang happy banget ngerjain kita-kita, gw yakin itu emang udah direncanain.

Mungkin ada faktor tertentu kenapa di Cipir gak begitu. Misalnya faktor cuaca yang emang gerimis mesra atau emang para pesertanya request kayak gitu. Yang jelas, gw yang emang gak siap berbasah-basahan karena gak bawa baju ganti lebih milih tujuan utama ikut ekspedisi ini yaitu eksplorasi meskipun tempatnya masih kalah dibanding Onrust dalam hal situs sejarah. Gak heran banyak yang lebih milih istirahat atau makan di warung yang gw bilang itu. Dengan harga 10.000, lo udah dapet Indomie rebus pake telor. Sekali lagi, dengan kapital, agar dramatis; PAKE TELOR. 

Kenikmatan Indomie telor di cuaca dingin ini gak ada yang ngalahin. Bahkan si Sofi yang tadinya gak mau langsung pergi ke warung buat mesen juga. Emang sih awalnya pas gw tanya berapa harga Indomie, si penjaga bilang 10.000 tanpa ngejelasin kalo harga itu udah termasuk telor. Harga Pop Mie juga sama. Padahal sama aja. Toh lo beli Indomie pun bakal disajiin pake sterofoam, kayak Pop Mie. Balik lagi ke selera sih pada intinya. Persetan dengan gak boleh makan pake sterofoam. Kenikmatan Indomie telor hangat di cuaca dingin adalah sesuatu yang amat berdosa bila dibiarkan begitu saja. Harus dinikmati seiring debur ombak yang tak akan ada habisnya mskipun kita itungin.

Sisa waktu lainnya dinikmati dengan berbagai cara. Ada yang bermalas-malasan, ada juga yang produktif. Misalnya si Sofi yang sketching pake buku dan pena yang gw bawa. Lumayan buat ngabisin waktu terlebih cuaca kurang bagus sehingga pecandu senja kayak gw mesti kecewa karena gak bisa liat sunset.

Proses sketching

Dan ini hasilnya


Acara puncak ditutup dengan penerbangan lampion yang sayangnya gagal karena angin. Lampion yang emang ringkih menjadi cepet rusak. Entah karena kebakar, robek, dan lepasnya lem. Faktor angin juga bikin si lilin jadi susah nyala karena korek yang digunain sering padam. Katanya sih cuma ada 1 lampion doang yang terbang ke langit. Sisanya rusak, kebakar, dan terbang tapi gak ke langit tapi ke laut. Uap dari lilin gak cukup banyak buat ngangkat lampion terbang tinggi. Akhirnya acara lampion yang ditunggu itu malah jadi antiklimaks. Jam 18.30 semua perahu kembali ke Kamal Muara. Meninggalkan tawa, kenangan, dan sampah lampion. 

Pulang
Angin laut yang dingin memaksa gw dan Sofi make jaket dan sweater kami masing-masing. Sengaja milih di belakang kapten karena mesin kapal ada di bawah tempat kami duduk, berharap ada sedikit kehangatan. Tapi bukan kehangatan yang kami dapatkan melainkan hembusan asap rokok kretek dari kapten kapal. 

Kapal yang kami tumpangi menciptakan riak ombak di sekeliling perahu. Nah yang menarik beberapa kali buihnya itu seakan menyala warna biru transparan. Entah ini ilusi optik atau emang begitu, tapi sering banget gw perhatiin buih ombak itu. Fenomena bioluminesensi ini kayak beneran. Meskipun gw gak yakin fenomena itu ada di Jakarta, tapi untuk sesaat gw jadi ngeliatin itu dan bikin takjub sendiri dan berharap suatu hari nanti bisa ke Maldives atau tempat lain dimana fenomena ini bisa diliat langsung. Aamiin.

Anyway perjalanan 45 menit itu cukup bikin nyenyak kalo buat tidur karena letihnya selama perjalanan menembus macet dan hujan serta eksplorasi pulau. Belum lagi kalo sekalian maen banana boat dan doughnut. Pasti tenaga udah cukup terkuras. Apalagi perjalanan pulang yang juga akan memakan waktu. Si Sofi sempet tidur juga.

Sampai di dermaga dengan selamat. Masing-masing peserta pulang ke tempat masing-masing dengan cara masing-masing pula. Ada yang naik motor, mobil, atau ojol. Gw sendiri bawa motor dan cukup bayar 10.000 buat parkir di sana. Gak ada tarif resmi sih, tapi kata orang dari tim panitia bilang kalau parkir di situ kena 10.000 untuk motor sedangkan mobil dikenakan biaya 20.000. Dengan harga segitu, pelayanannya cukup bagus juga sih. Motor gw aja dipindahin ke tempat yang aman dari hujan. Jadi harga segitu wajar lah. 

Abis bayar, kami langsung cabut dan kembali bertanya-tanya kenapa perjalanan pulang terasa lebih cepat dibanding perjalanan saat berangkat. Sebuah misteri yang kemudian terlupakan karena kami lapar dan butuh makan. Ego masing-masing antara ingin makan kerang kiloan atau makan steak akhirnya bisa didamaikan dengan Richesse Factory di Tanjung Duren sebagai solusi. Sehabis makan, gw minta beberapa foto via bluetooth. Kalian masih sering tukeran file pake cara ini? Gw masih. Haha..

Abis itu gw nganterin pulang ke Jelambar dan perjalanan ke Tangerang harus ditempuh seiring dengan waktu yang terus saja berdetak. Pukul 22.30 an gw sampe di rumah dan langsung pipis untuk ke sekian kalinya.

"Ikuti aku, sekalipun  ke neraka"


Review
Gw baru pertama kali ikut trip bareng tour organizer gini. Gak cukup bijak sih buat bikin penilaian. Tapi review ini cukup penting sih menurut gw. Makanya gw mau coba nulis sedikit review gw tentang pengalaman ini. 

Gw terkesan karena mereka nelponin gw. Mungkin juga nelponin ke yang lain yang belum datang. Jadinya mereka sangat bertanggungjawab terhadap peserta meskipun sebenarnya itu salah peserta yang gak bisa datang di jam yang udah ditentuin. 

Kekurangan dari panitia mungkin menurut gw adalah gak adanya ice breaking. Padahal perjalanan 45 menit dari dermaga ke Pulau Kelor itu cukup untuk bisa menghangatkan suasana. Bisa dengan jokes, info next trip, info kegiatan yang akan dilakukan, atau juga mengajak peserta berinteraksi satu sama lain. Misalnya pas di perahu itu masing-masing peserta diminta buat memperkenalkan diri. Baik nama maupun status (pelajar/karyawan di mana). Biar cair aja gitu. Gak kaku. Jadinya pas di kapal kemarin tuh yah gitu deh. Masing-masing sibuk dengan urusannya dan kelompoknya masing-masing. Kalo ada acara perkenalan gitu kan nantinya gak canggung buat nyapa. Malah mungkin bisa sharing makanan dan menjadi teman baru. 

Itu doang sih yang menurut gw cukup besar pengaruhnya jika dilakukan. Gw gak tau apakah mereka melakukan itu sebelumnya di dermaga pas gw belum dateng. Tapi selain itu, sisanya oke. Gw harap sih mereka sering-sering bikin acara trip gini tapi buat weekdays. Kadang kalo liat iklannya mereka, gw tuh pengen. Tapi pas liat tanggalnya, yah tanggal merah. Gw susah kalo weekend atau tanggal merah gitu. Dan gw bukan satu-satunya. 

Satu lagi yang gw sesalin dari perjalanan kemarin adalah gak dapet sunset karena memang faktor cuaca di luar kendali manusia. Tapi overall gw puas dengan perjalanan bareng mereka dan berharap suatu hari nanti bisa ikut nge-trip lagi.




Foto-foto bisa dilihat di akun Instagram @renjiblues dan @kunangkecil.

Pic credit goes to Sofia and me :p



NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner