-->

Rabu, 15 Maret 2017

Berburu Barang Second

Kalau dingat-ingat, rasanya saya cukup banyak menghabiskan materi saya dalam membeli barang-barang dalam kondisi bekas pakai orang. Istilah ‘barang second’ adalah istilah yang umum dikatakan untuk menyebut barang bekas orang. Ya, ketika saya lihat ruangan tempat saya tinggali ternyata barang-barang yang saya dapatkan dengan status second bisa didapat dengan mudah. Dari yang digantung, yang berceceran, sampai yang disimpan dengan kehati-hatian tingkat tinggi. Termasuk netbook yang sedang saya pakai inipun merupakan barang second. Dan yang menarik dari semua itu adalah cerita di dalamnya. Misalnya saja sebuah (semacam) sweater yang saya dapatkan dengan harga Rp. 2.500 saja. Atau cerita tentang ampli gitar merk Roland Cube 15X yang didapatkan dengan harga hanya Rp. 300.000.

Beberapa kisah menarik akan saya ceritakan nanti. Sekarang, saya ingin mengajak Anda untuk lebih dulu mengetahui kenapa seseorang ingin membeli barang-barang second. Faktor terbesar adalah keterbatasan materi dan terbatasan barang. Seseorang dengan keterbatasan materi akan memilih barang second karena harganya yang jauh lebih murah dibanding bila membeli barang baru yang sejenis. Berikutnya adalah keterbatasan barang. Misalnya saja sebuah barang yang sudah tidak dibuat kembali. Umumnya barang seperti ini adalah yang berjenis collectible item. Bisa berupa rilisan CD, kaset, buku, atau item khusus yang hanya dibuat secara terbatas. Status barang yang langka ini kemudian membuat orang-orang berbondong-bondong untuk memilikinya meskipun cinta baru muncul di kemudian hari. Misalnya Anda baru saja membaca sebuah buku Wiro Sableng karya Bastian Tito. Dan Anda baru sadar bahwa yang Anda baca sudah tidak bisa didapatkan jika harus membeli baru di toko buku ternama. Maka pasti Anda akan mencari buku itu dalam kondisi second karena memang barangnya tidak ada.

Selain dua alasan di atas, ada lagi alasan untuk membeli barang second. Biasanya adalah karena mereka suka dengan prosesnya. Mereka gemar untuk mencari dan membanding-bandingkan berbagai macam aspek penilaian untuk kemudian merasa barang tersebut memang layak untuk dimiliki atau tidak dengan aspek penilaian yang mereka berikan. Misalnya seseorang yang ingin membeli sepatu. Sebenarnya dia bisa dengan mudah mendapatkannya meskipun itu baru sekalipun. Namun bagi yang memilih second dia akan menilai dari harganya, kondisinya, lalu dibandingkan keduanya dan ditemukan hasil layak atau tidak layak untuk dibeli. Belum lagi mereka harus mencari-cari penjual yang cocok, baik dari harga, pelayanan, maupun jarak tempuh.

Alasan lainnya adalah orang-orang oportunis yang bisa memanfaatkan peluang. Misalnya tanpa sengaja melihat iklan yang menjual helm ternama hanya dengan harga Rp. 60.000 dan kondisi masih bagus. Dia akan membelinya meskipun barang yang ia beli tidak benar-benar dibutuhkan saat itu. Barang tersebut akan berguna nantinya. Entah untuk dirinya sendiri, atau untuk orang lain (bisa dijual atau dijadikan pemberian).

Satu lagi adalah kolektor. Mereka membeli barang second untuk koleksinya. Dalam satu barang yang sama, mereka bisa memiliki berbagai versi. Misalnya sebuah novel laris yang terus dicetak ulang dan mengalami perubahan pada cover. Dia akan mencarinya dan memburu barang-barang lama, bahkan kalau bisa cetakan pertamanya yang mereka cari. Entah saya masuk ke dalam kolektor atau tidak, namun saya sedang berusaha melengkapi buku-buku yang sudah tidak terbit lagi yakni buku Wiro Sableng karya Bastian Tito dan buku Lupus karya Hilman dan Boim.

**

Seperti yang saya tulis di atas, saya akan sedikit bercerita tentang barang-barang second yang saya dapatkan beserta latar belakang ceritanya. Tentu tidak semua yang bisa saya berikan mengingat ingatan saya yang tergerus oleh keadaan dan laju waktu yang memaksa kita untuk terus mengikuti arahan zaman.

Yang akan saya ceritakan pertama adalah semacam sweater (saya tidak tahu ini apa namanya) dengan merk Esprit Mur. Pencarian di Google tidak menemukan apapun yang berarti, hanya menemukan lapak lain di pasar online yang juga menjual produk dengan merk yang sama. Item ini saya dapatkan di Pasar Gedebage, Bandung, sekitar tahun 2005 atau 2006, lupa.

Credit : infobdg.com

Saat itu saya dan teman-teman seangkatan (SMA) sengaja ke Gedebage untuk mencari barang yang sekiranya cocok, baik secara harga, kondisi, dan kelayakan. Saat itu kami ke sana sudah sore, banyak pelapak yang sudah tutup dan beberapa juga ada yang sedang beres-beres. Ada satu lapak yang menawarkan harga Rp. 5,000 untuk 2 item. Karena kebanyakan item itu untuk wanita, maka saya cari yang kira-kira bisa dipakai oleh pria. Ketemu..! Tapi hanya satu. Begitupun teman saya yang juga hanya menemukan satu item. Kemudian kami berdua patungan dan masing-masing mendapatkan satu item yang telah dipilih dengan harga masing-masing Rp. 2.500. Item itupun terus dipakai oleh kami berdua di kemudian hari termasuk saat menjalani masa sekolah.

Gedebage memang memberi banyak pilihan untuk membeli barag-barang second. Namun belakangan ini kita mesti betul-betul cermat dalam memilih barang di sana. Karena sekarang sudah tidak seperti dulu. Banyak pedagang-pedagang yang menjual barang baru dan menghilangkan ciri khas pasar itu sendiri. Oh iya, di Bandung disebutnya Cimol yang artinya barang bekas. Terakhir kali saya ke Cimol adalah pada November 2015 dan membeli dua scarft dengan harga hanya Rp. 25.000. Atau setara Rp. 12.500. Yang satu entah merk apa karena ada tag dengan bahasa Jepang yang tidak saya mengerti. Satunya lagi merk ternama Piere Cardin. Saran saya jika ingin membeli di Gedebage ataupun di pasar barang bekas lainnya kita mesti cermat dalam memilih barang, tahu harga dan nilai barang, dan yang terpenting adalah sadis dalam menawar. Bukan apa-apa, sebuah tas merk Bali dengan motif dilukis cat yang saya dapatkan dengan harga Rp.30.000 masih saya anggap terlalu mahal meskipun penjual membuka dengan harga Rp. 150.000.

Dua scarf dan tas Bali

Selain di Gedebage, saya juga sering mendapatkan pakaian second lainnya dari belanja online maupun lapak-lapak di pinggir jalan yang biasanya diberi kata pemanis ‘sisa export’. Misalnya jaket tebal dengan bulu-bulu di leher merk Michiko London Kids yang saya dapatkan dengan harga Rp. 50.000 atau blazer formal merk Anoux yang saya dapatkan dari membeli online dengan harga yang sama.  Tapi yang paling sering adalah untuk sepatu.

   
Yang paling sering adalah sepatu pantovel untuk bekerja. Rata-rata harganya berkisar antara Rp. 30.000 – Rp. 40.000. Kadang kita bisa mendapat barang yang cukup rare dengan harga segitu. Misalnya saya pernah mendapat sepatu pantovel dengan tag Hush Puppies, atau mendapat sepatu Caterpillar. Ada sepatu kesayangan saya yang juga saya dapat dari barang second. Sepatu pantovel oxford/vintage berwarna cokelat. Ketika bagian depannya sedikit jebol, saya rela untuk memperbaikinya karena masih senang dan nyaman saat memakainya. Mungkin akan dipensiunkan ketika mendapat penggantinya yang lebih baik dan lebih baru.

Selain sepatu, saya juga sering mendapatkan barang berupa collectible item. Misalnya satu set komik Slam Dunk (deluxe edition) dengan jumlah 24 buku seharga Rp. 220.000 kalau saya tidak salah ingat. Harga itu sudah termasuk ongkir loh. Bagi saya itu sangat murah sekali dan kondisinya juga oke. Yang terbaru, saya baru saja mendapat buku karya Dee Lestari berjudul Supernova dengan cover lama. Harganya hanya Rp. 50.000 untuk kedua buka Supernova seri 1 dan 2. Satu lagi, seri pamungkas dari Supernova yaitu Intelegensi Embun Pagi bertandatangan penulis telah deal seharga Rp. 40.000 dan tinggal menyelesaikan transaksi dan pengiriman.

Cerita lain adalah gitar. Gitar akustik kw buatan lokal dengan merk Fender ini dibeli seharga Rp. 50.000 dan itu didapatkan ketika saya masih SMA kelas 3. Kakak laki-laki saya yang menawarkan gitar ini. Katanya dari temannya. Yang membuat saya tertarik untuk membeli gitar ini adalah adanya spul/pick up di body-nya sehingga bisa kita colok ke mini compo yang saya ada saat itu. Keinginan menggebu untuk memiliki gitar listrik sejak lama setidaknya bisa sedikit terwujud dengan adanya gitar ini. Akhirnya kami berdua patungan. Saat itu saya memberi Rp. 30.000 karena memang hanya itu yang saya miliki saat itu dan kakak saya menambahkan sisanya. Dan gitar itu masih sering saya mainkan. Banyak lagu-lagu yang saya buat dari gitar itu. Bisa dikatakan saya menjadi sosok oportunis di kasus ini.

Setelah dicorat-coret

Barang lain yang saya beli adalah CD. Banyak CD yang saya dapatkan dengan kondisi second. Yang paling seru adalah ketika saya mendapatkan 8 CD album L’Arc-en-Ciel yang merupakan salah satu band favorit saya. Satunya seharga Rp. 75.000 sehingga jika dijumlah maka hanya perlu menghabiskan Rp. 600.000 saja. Apalagi semuanya imported, dan bahkan ada yang dari Jepang juga. Tambahan 8 album itu membuat koleksi saya semakin bertambah dan pada akhirnya semua album studio L’Arc-en-Ciel berhasil saya kumpulkan.

**

Menurut saya, bukankah lebih baik membeli barang bekas tapi ori, dibanding membeli baru tapi kw. Sepatu Airwalk second namun ori jauh lebih memiliki nilai dibanding tas Hermes atau Louis Vuitton baru tapi kw, setidaknya bagi saya pribadi. Gengsi memang kadangkala membuat kita mengesampingkan nilai-nilai seperti ini.

Dengan membeli barang bekas, biasanya kita bisa merasakan sebuah rasa yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Aneh memang, namun seperti itulah. Coretan iseng di komik bekas, atau komik yang tersampul rapih menandakan bagaimana orang tersebut memperlakukan barangnya.

Dan saya amat respect dengan orang yang berjuang membeli barang ori, entah dengan cara membeli baru ataupun membeli bekas. Khusus yang membeli baru, usaha untuk mendapatkan barang yang diinginkan itu patut dihargai. Karena untuk mencari dan membeli barang itu dibutuhkan pengorbanan, entah dengan mengurangi jajan, menabung, atau mencari uang tambahan. Respect...!

Pada akhirnya membeli barang second tidak mungkin ada habisnya. Karena banyak barang baru dan kebutuhan untuk memenuhi keinginan pribadi, barang-barang baru akan menjadi barang kuno di kemudian hari. Saya sendiri terlanjur cinta dengan aktivitas ini. Persis seperti yang diakatakan JRX di lagu Black Market Love. Ini adalah deklarasi pada dunia tentang kecintaan pada hal-hal yang selama ini divonis ‘salah’ oleh sebagian besar perspektif mayoritas.


"Tatooes on my hand, music's on my mind
This will never ends, this black market love
I wear second hand, hookers are my friends
This will never ends, this black market love"

"Jangan malu belanja pakain bekas karena harga tak selalu tentukan karakter."



NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner