Kalau dingat-ingat, rasanya saya cukup banyak menghabiskan
materi saya dalam membeli barang-barang dalam kondisi bekas pakai orang.
Istilah ‘barang second’ adalah istilah yang umum dikatakan untuk menyebut
barang bekas orang. Ya, ketika saya lihat ruangan tempat saya tinggali ternyata
barang-barang yang saya dapatkan dengan status second bisa didapat dengan
mudah. Dari yang digantung, yang berceceran, sampai yang disimpan dengan
kehati-hatian tingkat tinggi. Termasuk netbook yang sedang saya pakai inipun
merupakan barang second. Dan yang menarik dari semua itu adalah cerita di
dalamnya. Misalnya saja sebuah (semacam) sweater yang saya dapatkan dengan
harga Rp. 2.500 saja. Atau cerita tentang ampli gitar merk Roland Cube 15X yang
didapatkan dengan harga hanya Rp. 300.000.
Beberapa kisah menarik akan saya ceritakan nanti. Sekarang,
saya ingin mengajak Anda untuk lebih dulu mengetahui kenapa seseorang ingin
membeli barang-barang second. Faktor terbesar adalah keterbatasan materi dan
terbatasan barang. Seseorang dengan keterbatasan materi akan memilih barang
second karena harganya yang jauh lebih murah dibanding bila membeli barang baru
yang sejenis. Berikutnya adalah keterbatasan barang. Misalnya saja sebuah barang
yang sudah tidak dibuat kembali. Umumnya barang seperti ini adalah yang
berjenis collectible item. Bisa berupa rilisan CD, kaset, buku, atau item
khusus yang hanya dibuat secara terbatas. Status barang yang langka ini
kemudian membuat orang-orang berbondong-bondong untuk memilikinya meskipun
cinta baru muncul di kemudian hari. Misalnya Anda baru saja membaca sebuah buku
Wiro Sableng karya Bastian Tito. Dan Anda baru sadar bahwa yang Anda baca sudah
tidak bisa didapatkan jika harus membeli baru di toko buku ternama. Maka pasti
Anda akan mencari buku itu dalam kondisi second karena memang barangnya tidak
ada.
Selain dua alasan di atas, ada lagi alasan untuk membeli
barang second. Biasanya adalah karena mereka suka dengan prosesnya. Mereka
gemar untuk mencari dan membanding-bandingkan berbagai macam aspek penilaian
untuk kemudian merasa barang tersebut memang layak untuk dimiliki atau tidak
dengan aspek penilaian yang mereka berikan. Misalnya seseorang yang ingin
membeli sepatu. Sebenarnya dia bisa dengan mudah mendapatkannya meskipun itu
baru sekalipun. Namun bagi yang memilih second dia akan menilai dari harganya,
kondisinya, lalu dibandingkan keduanya dan ditemukan hasil layak atau tidak
layak untuk dibeli. Belum lagi mereka harus mencari-cari penjual yang cocok,
baik dari harga, pelayanan, maupun jarak tempuh.
Alasan lainnya adalah orang-orang oportunis yang bisa
memanfaatkan peluang. Misalnya tanpa sengaja melihat iklan yang menjual helm
ternama hanya dengan harga Rp. 60.000 dan kondisi masih bagus. Dia akan
membelinya meskipun barang yang ia beli tidak benar-benar dibutuhkan saat itu.
Barang tersebut akan berguna nantinya. Entah untuk dirinya sendiri, atau untuk
orang lain (bisa dijual atau dijadikan pemberian).
Satu lagi adalah kolektor. Mereka membeli barang second
untuk koleksinya. Dalam satu barang yang sama, mereka bisa memiliki berbagai
versi. Misalnya sebuah novel laris yang terus dicetak ulang dan mengalami
perubahan pada cover. Dia akan mencarinya dan memburu barang-barang lama,
bahkan kalau bisa cetakan pertamanya yang mereka cari. Entah saya masuk ke
dalam kolektor atau tidak, namun saya sedang berusaha melengkapi buku-buku yang
sudah tidak terbit lagi yakni buku Wiro Sableng karya Bastian Tito dan buku
Lupus karya Hilman dan Boim.
**
Seperti yang saya tulis di atas, saya akan sedikit bercerita
tentang barang-barang second yang saya dapatkan beserta latar belakang
ceritanya. Tentu tidak semua yang bisa saya berikan mengingat ingatan saya yang
tergerus oleh keadaan dan laju waktu yang memaksa kita untuk terus mengikuti
arahan zaman.
Yang akan saya ceritakan pertama adalah semacam sweater
(saya tidak tahu ini apa namanya) dengan merk Esprit Mur. Pencarian di Google
tidak menemukan apapun yang berarti, hanya menemukan lapak lain di pasar online
yang juga menjual produk dengan merk yang sama. Item ini saya dapatkan di Pasar
Gedebage, Bandung, sekitar tahun 2005 atau 2006, lupa.
Credit : infobdg.com |
Saat itu saya dan
teman-teman seangkatan (SMA) sengaja ke Gedebage untuk mencari barang yang
sekiranya cocok, baik secara harga, kondisi, dan kelayakan. Saat itu kami ke
sana sudah sore, banyak pelapak yang sudah tutup dan beberapa juga ada yang
sedang beres-beres. Ada satu lapak yang menawarkan harga Rp. 5,000 untuk 2
item. Karena kebanyakan item itu untuk wanita, maka saya cari yang kira-kira
bisa dipakai oleh pria. Ketemu..! Tapi hanya satu. Begitupun teman saya yang
juga hanya menemukan satu item. Kemudian kami berdua patungan dan masing-masing
mendapatkan satu item yang telah dipilih dengan harga masing-masing Rp. 2.500. Item
itupun terus dipakai oleh kami berdua di kemudian hari termasuk saat menjalani
masa sekolah.
Gedebage memang memberi banyak pilihan untuk membeli
barag-barang second. Namun belakangan ini kita mesti betul-betul cermat dalam
memilih barang di sana. Karena sekarang sudah tidak seperti dulu. Banyak
pedagang-pedagang yang menjual barang baru dan menghilangkan ciri khas pasar
itu sendiri. Oh iya, di Bandung disebutnya Cimol yang artinya barang bekas. Terakhir
kali saya ke Cimol adalah pada November 2015 dan membeli dua scarft dengan
harga hanya Rp. 25.000. Atau setara Rp. 12.500. Yang satu entah merk apa karena
ada tag dengan bahasa Jepang yang tidak saya mengerti. Satunya lagi merk
ternama Piere Cardin. Saran saya jika ingin membeli di Gedebage ataupun di pasar
barang bekas lainnya kita mesti cermat dalam memilih barang, tahu harga dan
nilai barang, dan yang terpenting adalah sadis dalam menawar. Bukan apa-apa,
sebuah tas merk Bali dengan motif dilukis cat yang saya dapatkan dengan harga
Rp.30.000 masih saya anggap terlalu mahal meskipun penjual membuka dengan harga
Rp. 150.000.
Dua scarf dan tas Bali |
Selain di Gedebage, saya juga sering mendapatkan pakaian
second lainnya dari belanja online maupun lapak-lapak di pinggir jalan yang
biasanya diberi kata pemanis ‘sisa export’. Misalnya jaket tebal dengan
bulu-bulu di leher merk Michiko London Kids yang saya dapatkan dengan harga Rp.
50.000 atau blazer formal merk Anoux yang saya dapatkan dari membeli online
dengan harga yang sama. Tapi yang paling
sering adalah untuk sepatu.
Yang paling sering adalah sepatu pantovel untuk bekerja.
Rata-rata harganya berkisar antara Rp. 30.000 – Rp. 40.000. Kadang kita bisa
mendapat barang yang cukup rare dengan harga segitu. Misalnya saya pernah
mendapat sepatu pantovel dengan tag Hush Puppies, atau mendapat sepatu
Caterpillar. Ada sepatu kesayangan saya yang juga saya dapat dari barang
second. Sepatu pantovel oxford/vintage berwarna cokelat. Ketika bagian depannya
sedikit jebol, saya rela untuk memperbaikinya karena masih senang dan nyaman
saat memakainya. Mungkin akan dipensiunkan ketika mendapat penggantinya yang
lebih baik dan lebih baru.
Selain sepatu, saya juga sering mendapatkan barang berupa
collectible item. Misalnya satu set komik Slam Dunk (deluxe edition) dengan
jumlah 24 buku seharga Rp. 220.000 kalau saya tidak salah ingat. Harga itu
sudah termasuk ongkir loh. Bagi saya itu sangat murah sekali dan kondisinya
juga oke. Yang terbaru, saya baru saja mendapat buku karya Dee Lestari berjudul
Supernova dengan cover lama. Harganya hanya Rp. 50.000 untuk kedua buka Supernova
seri 1 dan 2. Satu lagi, seri pamungkas dari Supernova yaitu Intelegensi Embun
Pagi bertandatangan penulis telah deal seharga Rp. 40.000 dan tinggal
menyelesaikan transaksi dan pengiriman.
Cerita lain adalah gitar. Gitar akustik kw buatan lokal
dengan merk Fender ini dibeli seharga Rp. 50.000 dan itu didapatkan ketika saya
masih SMA kelas 3. Kakak laki-laki saya yang menawarkan gitar ini. Katanya dari
temannya. Yang membuat saya tertarik untuk membeli gitar ini adalah adanya spul/pick
up di body-nya sehingga bisa kita colok ke mini compo yang saya ada saat itu.
Keinginan menggebu untuk memiliki gitar listrik sejak lama setidaknya bisa
sedikit terwujud dengan adanya gitar ini. Akhirnya kami berdua patungan. Saat
itu saya memberi Rp. 30.000 karena memang hanya itu yang saya miliki saat itu
dan kakak saya menambahkan sisanya. Dan gitar itu masih sering saya mainkan.
Banyak lagu-lagu yang saya buat dari gitar itu. Bisa dikatakan saya menjadi
sosok oportunis di kasus ini.
Setelah dicorat-coret |
Barang lain yang saya beli adalah CD. Banyak CD yang saya dapatkan dengan kondisi second. Yang paling seru adalah ketika saya mendapatkan 8 CD album L’Arc-en-Ciel yang merupakan salah satu band favorit saya. Satunya seharga Rp. 75.000 sehingga jika dijumlah maka hanya perlu menghabiskan Rp. 600.000 saja. Apalagi semuanya imported, dan bahkan ada yang dari Jepang juga. Tambahan 8 album itu membuat koleksi saya semakin bertambah dan pada akhirnya semua album studio L’Arc-en-Ciel berhasil saya kumpulkan.
**
Menurut saya, bukankah lebih baik membeli barang bekas tapi ori,
dibanding membeli baru tapi kw. Sepatu Airwalk second namun ori jauh lebih
memiliki nilai dibanding tas Hermes atau Louis Vuitton baru tapi kw, setidaknya
bagi saya pribadi. Gengsi memang kadangkala membuat kita mengesampingkan
nilai-nilai seperti ini.
Dengan membeli barang bekas, biasanya kita bisa merasakan
sebuah rasa yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Aneh memang, namun seperti
itulah. Coretan iseng di komik bekas, atau komik yang tersampul rapih
menandakan bagaimana orang tersebut memperlakukan barangnya.
Dan saya amat respect dengan orang yang berjuang membeli
barang ori, entah dengan cara membeli baru ataupun membeli bekas. Khusus yang
membeli baru, usaha untuk mendapatkan barang yang diinginkan itu patut
dihargai. Karena untuk mencari dan membeli barang itu dibutuhkan pengorbanan,
entah dengan mengurangi jajan, menabung, atau mencari uang tambahan. Respect...!
Pada akhirnya membeli barang second tidak mungkin ada habisnya. Karena banyak barang baru dan kebutuhan untuk memenuhi keinginan pribadi, barang-barang baru akan menjadi barang kuno di kemudian hari. Saya sendiri terlanjur cinta dengan aktivitas ini. Persis seperti yang diakatakan JRX di lagu Black Market Love. Ini adalah deklarasi pada dunia tentang kecintaan pada hal-hal yang selama ini divonis ‘salah’ oleh sebagian besar perspektif mayoritas.
"Tatooes on my hand, music's on my mind
This will never ends, this black market love
I wear second hand, hookers are my friends
This will never ends, this black market love"
"Jangan malu belanja pakain bekas karena harga tak selalu tentukan karakter." |