![]() |
Credit : @sadrach_lukas |
Memang tidak ada ukuran ataupun sebuah
ketetapan berapa tahun waktu kosong yang diperbolehkan bagi seorang musisi
untuk tidak menambah karyanya. Kalau ada, tentu hal itu akan menjadi semacam
ketetapan yang mungkin akan memberatkan kebanyakan musisi atas regulasi yang
ada. Yah, entahlah. Tulisan ini akan menjadi ngawur karenanya.
Yang pasti, awal 2017 menjadi tahun dimana
Payung Teduh akhirnya mengeluarkan sebuah rilisan fisik setelah terakhir kali
mereka mengeluarkan album Dunia Batas pada 2012, atau tepatnya 5 tahun yang
lalu. Kekosongan selama 5 tahun itu terjawab dengan album live dengan cover
yang sangat artistik dan begitu intim yang entah kenapa langsung mengingatkan
saya kepada lagu Resah. Ada sepasang kekasih yang bergandengan tangan pada
selembar daun yang telah gugur.
Tapi bagaimanapun kerasnya usaha Payung Teduh
dalam mengeluarkan rilisan, tampaknya ada yang masih kurang. Hal yang paling
terasa adalah tidak adanya amunisi baru dalam album itu. Dari 11 track (empat
lagu dijadikan medley menjadi dua track), semuanya merupakan karya lama dari
album self title dan Dunia Batas.
Sisi positif yang ditawarkan dari album live
ini adalah adanya penyegaran dengan tambahan orchestra. Sehingga kita bisa
mendengarkan lagu-lagu Payung Teduh dalam versi yang sedikit berbeda. Yang
paling terasa adalah Resah. Lagu Resah menjadi lagu instrumental megah namun
tidak membuat kita kehilangan atmosfir keresahannya. Selebihnya, tambahan
string dan brass section tersebar di semua lagu. Begitupun dengan adanya alunan
piano dari Sadrach Lukas. Nama lain yang menjadi credit di album ini adalah
Jubing Kristianto di lagu Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan, dan Arman
Chaniago di lagu Biarkan dan Angin Pujaan Hujan.
![]() |
Credit: @payungteduh |
Selebihnya, kita mungkin perlu waktu untuk merasa akrab
dengan beberapa perubahan yang amat drastis. Seperti di lagu Cerita Tentang
Gunung & Laut, serta di lagu Angin Pujaan Hujan. Gunung & Laut menjadi
begitu penuh distorsi, dan Angin Pujaan Hujan jadi terdengar dipaksakan. Masih
lebih bagus versi aslinya. Ketika lagu ini dibawakan secara live, saya sempat
terperangah dengan perubahan itu. Mungkin dua lagu dengan versi baru itu masih
lebih aman untuk didengarkan dalam bentuk rekaman, bukan secara live di
panggung. Entah jika mendengarnya dengan cara menonton live lengkap dengan para
pemain orkestra.
Terlepas dari hal positif yang ada, ketiadaan
lagu baru rasanya sangat menganggu. Jeda waktu 5 tahun merupakan jeda yang
cukup panjang. Apalagi jika mau jujur, toh materi di album Dunia Batas pun
tidak sepenuhnya baru. Hanya ada 4 lagu baru. Empat lagu lainnya adalah
lagu-lagu yang ada di album self title. Keberadaan lagu Mari Bercerita dan Masa
Kecilku yang tak masuk ke dalam album live baru ini juga amat disayangkan.
Pernah dalam suatu ketika saya memperhatikan
jadwal manggung Payung Teduh yang begitu ramai. Dalam 1 minggu, mereka bisa
main sebanyak 3 kali. Dan itu bisa keluar kota. Mungkin jadwal mereka yang
padat itu yang membuat mereka merasa malas(?) untuk membuat lagu baru. Kalau
memang begitu, rasanya kita perlu memboikot konser mereka, semata-mata agar
mereka punya waktu luang untuk membuat album baru yang isinya full lagu-lagu
baru.