-->

Sabtu, 04 Februari 2017

Payung Teduh dan Karya Yang Belum Bertambah

Credit : @sadrach_lukas


Memang tidak ada ukuran ataupun sebuah ketetapan berapa tahun waktu kosong yang diperbolehkan bagi seorang musisi untuk tidak menambah karyanya. Kalau ada, tentu hal itu akan menjadi semacam ketetapan yang mungkin akan memberatkan kebanyakan musisi atas regulasi yang ada. Yah, entahlah. Tulisan ini akan menjadi ngawur karenanya.

Yang pasti, awal 2017 menjadi tahun dimana Payung Teduh akhirnya mengeluarkan sebuah rilisan fisik setelah terakhir kali mereka mengeluarkan album Dunia Batas pada 2012, atau tepatnya 5 tahun yang lalu. Kekosongan selama 5 tahun itu terjawab dengan album live dengan cover yang sangat artistik dan begitu intim yang entah kenapa langsung mengingatkan saya kepada lagu Resah. Ada sepasang kekasih yang bergandengan tangan pada selembar daun yang telah gugur.

Tapi bagaimanapun kerasnya usaha Payung Teduh dalam mengeluarkan rilisan, tampaknya ada yang masih kurang. Hal yang paling terasa adalah tidak adanya amunisi baru dalam album itu. Dari 11 track (empat lagu dijadikan medley menjadi dua track), semuanya merupakan karya lama dari album self title dan Dunia Batas.

Sisi positif yang ditawarkan dari album live ini adalah adanya penyegaran dengan tambahan orchestra. Sehingga kita bisa mendengarkan lagu-lagu Payung Teduh dalam versi yang sedikit berbeda. Yang paling terasa adalah Resah. Lagu Resah menjadi lagu instrumental megah namun tidak membuat kita kehilangan atmosfir keresahannya. Selebihnya, tambahan string dan brass section tersebar di semua lagu. Begitupun dengan adanya alunan piano dari Sadrach Lukas. Nama lain yang menjadi credit di album ini adalah Jubing Kristianto di lagu Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan, dan Arman Chaniago di lagu Biarkan dan Angin Pujaan Hujan.

Credit: @payungteduh

Selebihnya, kita mungkin perlu waktu untuk merasa akrab dengan beberapa perubahan yang amat drastis. Seperti di lagu Cerita Tentang Gunung & Laut, serta di lagu Angin Pujaan Hujan. Gunung & Laut menjadi begitu penuh distorsi, dan Angin Pujaan Hujan jadi terdengar dipaksakan. Masih lebih bagus versi aslinya. Ketika lagu ini dibawakan secara live, saya sempat terperangah dengan perubahan itu. Mungkin dua lagu dengan versi baru itu masih lebih aman untuk didengarkan dalam bentuk rekaman, bukan secara live di panggung. Entah jika mendengarnya dengan cara menonton live lengkap dengan para pemain orkestra.

Terlepas dari hal positif yang ada, ketiadaan lagu baru rasanya sangat menganggu. Jeda waktu 5 tahun merupakan jeda yang cukup panjang. Apalagi jika mau jujur, toh materi di album Dunia Batas pun tidak sepenuhnya baru. Hanya ada 4 lagu baru. Empat lagu lainnya adalah lagu-lagu yang ada di album self title. Keberadaan lagu Mari Bercerita dan Masa Kecilku yang tak masuk ke dalam album live baru ini juga amat disayangkan.

Pernah dalam suatu ketika saya memperhatikan jadwal manggung Payung Teduh yang begitu ramai. Dalam 1 minggu, mereka bisa main sebanyak 3 kali. Dan itu bisa keluar kota. Mungkin jadwal mereka yang padat itu yang membuat mereka merasa malas(?) untuk membuat lagu baru. Kalau memang begitu, rasanya kita perlu memboikot konser mereka, semata-mata agar mereka punya waktu luang untuk membuat album baru yang isinya full lagu-lagu baru.



NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner