-->

Rabu, 01 Februari 2017

Hei


10.10.16

Hei... Ini aku.

Aku adalah bagian dari dirimu yang senantiasa hadir di sela-sela hujan dingin dan rintik air yang syahdu. Ada yang ingin aku katakan padamu.

Hei... Aku tahu.

Aku tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tak bisa kau miliki. Tak usah berbohong atau menyangkal. Aku tahu. Karena aku berada di titik terdalam dari ruang hati yang sengaja kau biarkan terbuka agar seberapapun kerasnya usahamu untuk tak peduli, justru akulah yang kau minta untuk terus peduli. Aku merasa garis pembatas antara dirimu dan ketidakwarasanmu itu menyebabkan aku semakin sulit untuk memintamu berpihak kepada apa. Kepada logikamu, atau kepada ketidakwarasanmu.

Hei... Coba kau ingat.

Ingatlah apa saja yang telah kau lakukan untuk menarik perhatiannya. Tidak ada yang berarti baginya. Barangkali baginya engkau hanyalah sebuah peran kecil dalam kehidupannya yang besar. Tapi jika dipikirpun, rasanya memang tak ada usaha yang betul-betul bisa membuatnya terpikat kepadamu. Semuanya terkesan biasa. Mengantarnya pulang mengendarai motormu yang kau dapatkan dengan susah payah, memberinya bunga bahkan di hari ulangtahunnya, apakah itu cukup? Aku rasa itu biasa saja. Tapi aku tahu bahwa yang kau lakukan itu semua dengan rasa ikhlas. Meski George Thomas mengungkapkannya dalam Teori Pertukaran Sosial, ternyata memang teori perspektif barat itu tidak sepenuhnya berlaku di ranah kita yang menganut budaya ketimuran. Tak ada ilmu ikhlas di sana.

Ah, maaf. Aku jadi menghakimi begini. Aku tak memperhatikan perasaanmu terhadapnya. Maaf. Sekali lagi, maaf.

Aku hanya ingin engkau sadar.
Kenyataannya adalah ternyata apa yang kau lakukan belumlah cukup untuk mendekati tempat di mana ia berada. Ketika kau panjangkan tanganmu untuk merengkuhnya, ia telah berjalan sangat jauh. Persis seperti lagu Five Minutes..

“semakin kukejar... semakin kau jauh... Tak pernah letih tuk dapatkanmu”

Aku malas untuk meneruskan kelanjutannya. Yang ada nanti malah membuatmu semakin terpukul dan tersindir oleh lirik lagu itu.

Hei.. Dengarkan aku.

Aku rasa kau harus bisa terlepas sepenuhnya dengannya. Ia bukanlah siapa-siapamu. Bukan milikmu. Ia hanya seorang teman seperti juga yang lainnya. Aku tahu kau telah melepasnya secara perlahan. Aku hargai itu. Dan aku sangat menantikan dirimu bisa melepas semuanya. Semua perasaan ingin memilikimu itu.
Biarkan saja dia melesat jauh. Toh nantinya kuyakin engkau juga bisa melesat sejauh dirinya. Atau mungkin melebihinya. Percayalah. Kau masih ingin bekerja di NASA, kan?

Aku akan pergi. Kembali bersembunyi di dalam relung hatimu yang semoga bisa kau kunci sejauh engkau melangkah. Semoga kita tidak bertemu lagi dalam waktu yang lama jika masih membicarakan dirinya. Aku akan muncul saat waktu yang tepat. Sampai saat itu tiba, teruslah berjalan pada jalan yang kau percayai.

See you...

****

01.02.17

Hei....

Ini aku. Lagi.

Ya, aku tahu. Betapa kebahagiaan itu bisa dengan mudah didapatkan oleh hal-hal sederhana yang bisa menyentuh saraf dan lembar perasaan. Kebahagiaan hanya karena secara visual engkau bisa melihatnya. Mendengar suaranya secara langsung dan sentuhan ringan pada dua tangan yang saling berjabat. Sederhana, namun bisa membuatmu bahagia.
Kebahagiaan yang kau dapatkan mungkin punya porsi yang tidak sama besar jika dibandingkan dengan sebuah penantian. Dari apa? Dari kejam dan bengisnya putaran waktu yang yah, entah searah entah berputar.

Itulah yang membuatku kembali muncul. Kembali mengistirahatkan kata-kata ternyata tidak cukup kuat karena kosa kata memiliki kemampuan yang terbatas. Apa kata yang paling tepat untuk menunjukkan kata di atas kata ‘sayang’, di atas kata ‘cinta’? Dengan kata-kata itulah aku kembali ingin berbicara denganmu dan hidupmu.

Hei.. Aku akui.

Ia terlihat semakin mempesona. Entah karena lama tak bersua, atau faktor perasaan yang mengiyakan argumen ini. Aku bisa tau dari cara kau memandangnya. Sebuah pandangan hangat yang ingin menyapa sekaligus bergurau namun terlihat masih malu-malu.
Aku khawatir dirinya akan membencimu atas tindakanmu ini. Mengaguminya sambil berharap ia menoleh untuk sekadar mengucapkan ‘Hai’ terlebih dahulu. Mungkin tak akan terjadi. Entahlah. Hanya saja yang aku khwatirkan nantinya adalah engkau hanya akan terlarut dalam bias dalam waktu yang terlampau panjang. Kita, maksudku,, engkau dan aku perlu sama-sama belajar cara menyapanya dengan benar.

Lain ceritanya jika kau memang senang dengan situasi ini. Menatapnya dari sisi gelap demi sebuah cahaya di ujung sana. Membuatmu terpuruk dihempas gelap yang semakin kelam sementara ia semakin jauh ke arah terang. Saranku, sebaiknya engkau mulai berlari dan mengejarnya dalam terang menuju bahagia yang hakiki.
Saranku ini gratis. Boleh kau pakai, tak melarang juga jika kau hiraukan. Yang pasti aku akan kembali bersembunyi sampai waktu yang akan membuatku merasa harus keluar.

Salam.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner